Rakyat pun diminta terus berkorban dengan mencicil pokok dan bunga utang luar negeri. Keuangan negara akan jauh lebih kuat jika kita bersatu memerangi mafia pajak.
Potensi penerimaan negara dari pajak masih jauh lebih besar dari sekadar jumlah yang dipatok dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Ada beberapa faktor yang menyebabkan potensi besar itu belum termanfaatkan. Pertama, UU perpajakan belum membidik semua obyek pajak. Kedua, kesadaran masyarakat membayar pajak belum ideal sehingga rasio pajak masih rendah. Ketiga, efektivitas peran Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan belum maksimal. Keempat, birokrasi negara "melahirkan dan menumbuh-kembangkan" mafia pajak.
Akibatnya, hampir setiap tahun pemerintah nyaris tak pernah bisa mencapai target penerimaan pajak. Penerimaan pajak tahun lalu gagal dari target APBN-P 2010. Jumlah finalnya hanya Rp649,042 triliun atau 98,1% dari target Rp 661,4 triliun. Kegagalan mencapai target pun terjadi pada 2009, hanya Rp565,77 triliun atau 97,99 persen dari target APBN-P 2009.
Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa pembiayaan APBN sangat bergantung pada besar kecilnya kontribusi pendapatan negara dari pajak. Peran pajak dalam pembiayaan APBN terus membesar. Porsinya kini sekitar 80 persen.
Untuk menutupi kekurangan pembiayaan APBN, pemerintah terpaksa mencari pinjaman dari pasar uang. Hingga tahun lalu, total utang pemerintah sudah mencapai Rp1.676 triliun. Dalam enam tahun terakhir ini, utang negara bertambah Rp300 triliun lebih. Desember 2010 misalnya, pemerintah menambah utang dari ADB sebesar 200 juta dolar AS. Ironisnya, pada saat bersamaan, Indonesia pun terus mencicil pokok dan bunga utang luar negeri terdahulu.
Untuk 2011 ini, pemerintah mengalokasikan pembayaran utang Rp116, 4 triliun, sedangkan jumlah yang dibayar tahun lalu Rp105 triliun.
Lalu, apa urgensinya memerangi mafia pajak? Karena mafia pajak diberi keleluasaan merampok ratusan trilyun uang negara.
Seorang guru besar ekonomi pernah mengungkapkan perkiraannya bahwa kerugian negara per tahun mencapai Rp360 triliun karena perampokan oleh mafia pajak. Perkiraan ini logis kalau kita mengacu pada modus yang diterapkan tersangka penggelap pajak Gayus Tambunan.
Ulah Gayus yang pegawai rendahan Ditjen pajak itu bisa menyebabkan kerugian negara sampai Rp1,3 triliun. Perkiraan angka kerugian itu muncul dari tindakan Gayus `memberi diskon` kepadai 19 perusahaan yang ditanganinya. Berapa persisnya kerugian negara harus dihitung dengan teliti karena Gayus diberi wewenang menangani 151 perusahaan.
Itu baru perkiraan kerugian negara akibat ulah seorang Gayus. Namun, seperti diakui Gayus sendiri, kita semua pun sudah meyakini bahwa Gayus memang tidak mungkin bekerja sendiri. Kawan-kawannya serta para oknum atasannya di Ditjen Pajak Kementerian keuangan pun melakukan hal yang sama dengan modus berbeda. Karena itu, angka kerugian negara mendekati Rp400 triliun per tahun itu menjadi perkiraan yang masuk akal.
Bayangkan, besarnya jumlah pajak yang dirampok sampai tiga kali lipat dari jumlah anggaran yang dialokasikan negara untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri per tahun.
Beban pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri per tahun itu menyebabkan APBN kita tidak leluasa membiayai pembangunan. Sebagai mesin penggerak ekonomi negara, aspek kemampuan APBN benar-benar tidak ideal lagi.
Untuk membiayai reformasi birokrasi dengan pendekatan remunerasi misalnya, negara harus menggunakan dana pinjaman dari pasar uang yang bunganya tidak murah.
Ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri bisa mendekati angka nol jika seluruh elemen masyarakat bersatu memerangi mafia pajak. Sudah bukan saatnya kita menutup mata atau pura-pura tidak tahu bahwa mafia pajak telah cukup lama merusak keuangan negara dan memperlemah fungsi APBN sebagai motor penggerak ekonomi negara.
Modus
Sudah lama para ekonom meyakini bahwa potensi pajak dan cukai di negara ini sangat besar, tetapi pemerintah belum sistematis mengoptimalisasi pendapatan dari sektor pajak dan cukai. Coba bandingkan antara realisasi pendapatan negara dari pajak dengan jumlah pajak yang dirampok mafia pajak. Jumlah penerimaan negara dari pajak per 2010 mencapai Rp 649,042 triliun, sementara jumlah yang dirampok mafia pajak mendekati Rp400 triliun per tahun.
Logika sederhananya adalah potensi riil penerimaan negara dari pajak saat ini di kisaran Rp1.000 triliun. Potensi riil ini bisa diwujudkan jika birokrasi negara tertib dan bersih.
Namun, karena birokrasi negara tidak bersih, terjadi gap yang sangat lebar antara potensi pendapatan negara dari pajak dengan realisasi penerimaan negara dari pajak. Kita semua harus sepakat dulu bahwa ini adalah masalah yang sangat mengganggu, sebab rakyat kebanyakanlah yang harus menanggung akibatnya.
Jangan juga kita bertele-tele dalam merumuskan jalan keluar. Memang, ekstensifikasi pajak menjadi opsi tak terhindarkan dan harus berkelanjutan. Namun, penegak hukum pun harus memperkecil ruang gerak mafia pajak. Jangan sampai rakyat dipaksa patuh pada program ekstensifikasi, tetapi sistem dan praktik hukum negara gagal mengeliminasi mafia pajak.
Diotaki oknum birokrasi negara, mafia pajak bekerja dan beroperasi dengan memanfaatkan kelemahan undang-Undang (UU), kelemahan peraturan pemerintah dan kelemahan sistem. Di balik kelemahan UU dan sistem itu, mafia pajak berlindung. Namun, jika penegak hukum telaten dan konsisten, memerangi mafia pajak bukan pekerjaan sulit. Apalagi jika ada kemauan politik dari pemerintah.
Oleh oknum atasannya, Gayus diberi wewenang mengggunakan modus diskon pajak. Oknum Ditjen pajak lainnya menggunakan modus manipulasi restitusi pajak. Modus paling aman adalah memenangkan wajib pajak (WP) dan mengalahkan negara di pengadilan pajak. Namun, Modus mafia pajak tak hanya sebatas itu. Temuan-temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun patut didalami penegak hukum karena ada kelemahan atau kesalahan yang patut dicurigai sebagai kesengajaan oknum.
Misalnya, dalam pemeriksaan di sebuah KPP Wajib Pajak Besar, BPK menemukan KPP itu belum melakukan tindak lanjut optimal atas potensi penerimaan pajak, sehingga laporan usaha WP tidak dapat diyakini kebenarannya. BPK menilai petugas pajak belum mengikuti ketentuan dan prosedur dalam pemanfaatan data ekualitas (kesamaan) PPh dan PPN.
Temuan BPK lainnya juga memperlihatkan importir yang memasukkan barang dari luar daerah pabean terindikasi belum bayar PPN impor dan PPh pasal 22 impor. Akibatnya, potensi penerimaan negara berkurang dalam bilangan triliunan rupiah. Bahkan, kelemahan pemahaman hukum petugas pajak menyebabkan pemberian imbalan bunga yang membebani negara sampai ratusan miliar rupiah.
Pertanyaannya, apakah rendahnya efektivitas kerja KPP itu semata-mata karena kelemahan aspek teknis para petugas pajak, atau `kelemahan` itu menjadi modus untuk mencuri uang negara? Memang terkesan sepele, tetapi kecenderungan-kecenderungan seperti inilah yang mestinya didalami penegak hukum
Mantan Ketua Tim Independen Mafia Hukum Polri, Mathius Salempang sempat menguraikan beberapa modus operandi mafia pajak lainnya. Misalnya, negosiasi dengan penilik pajak. Bila pajak perusahaan ada 10, dilakukan negosiasi agar hanya lima yang dibayarkan pajaknya.
Modus lainnya adalah persekongkolan ketika dilakukan penyelesaian keberatan pada tingkat Direktorat Keberatan dan Banding. Selain itu, banyak konsultan pajak yang bertindak tidak sesuai perintah institusi.
Ada juga modus menahan surat keterangan pajak oleh Direktorat Pajak. Surat itu dapat dikeluarkan jika ada kesepakatan tentang besarnya uang suap.
Jadi, mafia pajak adalah persoalan riil yang memaksa rakyat Indonesia terus menanggung beban utang luar negeri.
Sayang, ada yang menolak ketika DPR ingin memerangi mafia pajak dengan usul penggunaan hak angket DPR. Mungkin, mereka memang mendapat untung dari eksistensi mafia pajak di negara ini.
* Anggota Badan Anggar
(J004/KWR/K004)
Oleh Oleh Bambang Soesatyo*
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011