Kalau nggak ngerokok dibilang banci sama temen-temen, apalagi sama kakak kelas di sekolah"
Jakarta (ANTARA News) - Tak seperti siang-siang sebelumnya, Matahari malu-malu bersinar. Cahayanya tak menyengat kulit, karena harus menerobos dahulu celah-celah atap stasiun Kranji, Bekasi Barat.

Di bawah atap, di sudut peron, enam bocah kecil kerempeng berdiri tegak bersuara lantang. Tubuh mereka dibalut kaos oblong dan celana pendek, sementara sendal jepit melindungi ujung kaki mereka.

Penampilan mereka mencolok mata. Betapa tidak, tangan kurus dua dari enam bocah itu menggengam erat sebatang rokok menyala. Batang rokok itu pindah ke mulut mereka.  Mereka menghisapnya, lalu asapnya mereka hembuskan ke udara.

Mereka sangat belia, tetapi mereka sama sekali tidak malu, justru orang yang berdiri dan duduk di sekitarnyalah yang malu.

Puas menghisap rokok, bocah-bocah itu tertawa lepas, lalu bergaya macam jagoan di film-film superhero, membusungkan dada, mendongakkan kepala, lalu mengisap lagi rokoknya dan meniupkan lagi asapnya, laksana orang dewasa.

Usia mereka baru saja menginjak angka 14, sedangkan tubuh mereka belum lagi tumbuh sempurna, suaranya masih khas anak-anak.

Namun mereka begitu percaya diri tampil di tengah khalayak dengan rokok filter di genggaman.

Satu dari enam bocah tersebut, yang paling berlagak jagoan, namanya Bintang, mengaku masih siswa kelas dua pada salah satu SMP di Jakarta Timur.

Dia mengaku sedang libur sekolah dan bermain bersama teman-temannya dengan menaiki kereta api yang membawa mereka jauh hingga ke Stasiun Kranji, Bekasi.

Sebuah pengakuan lugu terlontar darinya, bahwa rokok hanyalah alat untuk memperoleh predikat jagoan di antara kawan-kawan seusia.

"Kalau nggak ngerokok dibilang banci sama temen-temen, apalagi sama kakak kelas di sekolah," katanya penuh percaya diri.

Ya, kakak kelasnyalah yang membuat si Bintang mengenal rokok.

"Kakak kelas ada yang merokok, kelihatannya keren kayak jagoan, saya pun diajarkan cara merokok, katanya biar nggak kayak banci," ungkapnya lugu. 

Melihat mimik muka kekanak-kanakan bocah ini, siapapun akan gemas dibuatnya.

Dia melanjutkan bercerita.  Saya, katanya, hanya berani merokok saat berada di luar sekolah dan di luar rumah.

Sedetik kemudian dia melontarkan pengakuan mengejutkan, bahwan meskipun dia masih berorangtua, tak ada seorang pun yang pernah mengingatkannya soal bahaya merokok.

Dia lalu menyebut iklan rokok di televisi makin membuatnya penasaran untuk merokok.

"Liat iklan di TV saya jadi pengen coba, tapi saya hanya berani merokok, nggak berani pakai narkoba kayak salah satu band yang baru kena tangkap polisi gara-gara narkoba," katanya lagi.

Harus dilarang

Bintang mengakui tidak mengetahui dampak buruk yang timbul dari menghisap tembakau.

"Saya nggak tahu rokok berbahaya, kalau emang bahaya kenapa dijual?," katanya polos.  Tapi sungguh, tak ada seorang pun yang bisa membantah logika di balik pernyataan terakhir si anak kecil ini.

Pertanyaan Bintang seharusnya menyadarkan siapapun di negeri ini. bahwa anak-anak seperti Bintang harus dilindungi dari rokok.

Dari Survei Sosial Ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2001 dan 2004, prevalensi anak-anak usia 15-19 tahun yang merokok menunjukkan peningkatan.

Tahun 2001 "baru" 12,7 persen, namun tiga tahun kemudian pada 2004 angka itu meningkat menjadi 17,3 persen.

Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey 2006 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 24,5 persen anak laki dan 2,3 persen anak perempuan berusia 13-15 tahun di Indonesia adalah perokok.

Bahkan, 3,2 persen di antaranya sudah dalam tahap kecanduan alias ketagihan.

Sementara, hasil penelitian Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Prof DR Hamka terhadao 353 murid SMP dan SMA di Jakarta, didapati fakta bahwa 46,3% remaja berpendapat bahwa iklan rokok berpengaruh besar terhadap keinginan untuk memulai merokok.

Sementara 41,5% remaja lainnya berpendapat, keterlibatan dalam kegiatan yang disponsori industri rokok mempengaruhi remaja untuk mulai merokok.

Tak heran jika kemudian Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menegaskan bahwa salah satu upaya yang harus dilakukan guna menekan jumlah perokok pemula adalah dengan total melarang iklan, promosi dan sponsor rokok.

Ketua Komnas PA Aris Merdeka Sirait bahkan mempertegas keinginan mereka itu dengan mengutipkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 113 yang menyebutkan bahwa tembakau adalah zat adiktif.

"Berarti, sama dengan narkoba atau minuman keras. Pertanyaannya kenapa miras dan narkoba tidak boleh diiklankan sama sekali, sementara larangan iklan rokok hanya dilakukan secara setengah-setengah, tidak dilarang total?," kata Aris.

Aris mendesak pemerintah melarang total segala bentuk iklan, promosi dan sponsor rokok. Apalagi, katanya, industri rokok kadang beriklan, berpromosi atau mensponsori sejumlah kegiatan yang dihadiri pelajar, seperti pagelaran musik.

"Untuk melindungi perokok pemula atau anak-anak maka kita harus membuat larangan total iklan, promosi dan sponsor rokok," ulang Aris mempertegas.

Pertanyaannya kini adalah, bisakah larangan total iklan, promosi dan sponsor rokok menekan jumlah perokok pemula dan menyelamatkan Bintang serta anak-anak Indonesia lain dari bahaya merokok?

Hanya kepedulian semua pihak dan komitmen pemerintah yang bisa menjawabnya.(*)

Oleh Wuryanti Puspitasari
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011