Jakarta (ANTARA) - COVID-19 menghantam hampir seluruh sektor perekonomian di Republik Indonesia, termasuk sektor keuangan. Namun dengan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tak mudah menggoyahkan sektor tersebut meski dalam keadaan krisis hebat sekalipun.
Setelah berhasil membuat sektor keuangan bertahan di tengah krisis pandemi, kini OJK terus mengeluarkan berbagai kebijakan dan mengawasi industri jasa keuangan agar bisa berkontribusi dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan OJK untuk mendorong sektor jasa keuangan tersebut juga merupakan bagian dari Paket Kebijakan Terpadu untuk Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha dalam rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi yang diusung oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
KSSK merupakan forum koordinasi, kerja sama, dan pertukaran informasi antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), OJK, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, penanganan krisis sistem keuangan, serta penanganan permasalahan bank sistemik dalam kondisi sistem keuangan normal maupun kondisi krisis.
Dalam paket kebijakan terpadu, OJK menggelontorkan berbagai kebijakan prudensial sektor keuangan yang terdiri dari perpanjangan restrukturisasi kredit atau pembiayaan, penurunan bobot risiko kredit (ATMR) bagi kredit atau pembiayaan properti dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor, mendorong penyaluran kredit atau pembiayaan untuk sektor kesehatan melalui pelonggaran batas maksimum pemberian kredit dan penurunan ATMR.
Kemudian, peningkatan akses keuangan UMKM melalui perluasan pilot project Kredit Usaha Rakyat (KUR) Klaster, pendirian Bank Wakaf Mikro, Lembaga Keuangan Desa, dan platform UMKM-MU yang didukung peran Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah, serta Penetapan status sovereign bagi Lembaga Pengelola Investasi (LPI) untuk mendukung operasional lembaga tersebut.
Kebijakan restrukturisasi kredit merupakan stimulus teranyar OJK selama pandemi yang telah dikeluarkan sejak awal tahun 2020 untuk menahan dampak COVID-19 kepada dunia usaha dan telah terbukti sangat berdampak, khususnya UMKM terdampak pandemi.
Setelah hampir dua tahun berjalan dan akan berakhir pada 31 Maret 2022, OJK kembali memperpanjang masa relaksasi restrukturisasi kredit perbankan sampai 31 Maret 2023 dan berlaku pula bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
"Tujuan perpanjangan salah satunya adalah untuk mempersiapkan bank dan debitur untuk kembali normal secara perlahan, sehingga menghindari potensi gejolak setelah kebijakan ini berakhir," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
Kendati demikian, perpanjangan kebijakan stimulus untuk perbankan tersebut, tetap akan dilakukan dengan tetap menerapkan manajemen risiko, yang terdiri dari penerapan self assessment terhadap debitur yang dinilai mampu terus bertahan, masih memiliki prospek usaha, dan layak mendapatkan perpanjangan.
Kemudian, kecukupan pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN), di mana terhadap debitur-debitur yang dinilai tidak lagi mampu bertahan setelah diberikan restrukturisasi pada tahap pertama, bank diminta mulai membentuk CKPN.
Selanjutnya, prasyarat pembagian dividen, dalam hal bank akan melakukan pembagian dividen, agar mempertimbangkan ketahanan modal atas tambahan CKPN yang harus dibentuk untuk mengantisipasi potensi penurunan kualitas kredit restrukturisasi, serta akan diterapkan pula stress testing dampak restrukturisasi terhadap permodalan dan likuiditas bank.
Hingga saat ini, outstanding restrukturisasi kredit terdampak COVID-19 kian menurun secara bertahap menjadi Rp738,6 triliun, dari jumlah pada awal tahun 2021 yang sempat mencapai puncaknya, yakni Rp900 triliun.
Kredit yang direstrukturisasi di antaranya diberikan kepada perusahaan korporasi yang jumlahnya cukup besar, yakni Rp462,32 triliun dari 1,27 juta debitur. Sementara itu, porsi UMKM Rp276,36 triliun yang berasal dari 3,3 juta debitur.
Penurunan angka restrukturisasi kredit tersebut tak terlepas dari mulai membaiknya kegiatan dunia usaha, seiring pelonggaran kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Penurunan ATMR bagi kredit atau pembiayaan properti dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor juga berhasil mendorong pemulihan konsumsi masyarakat, apalagi kebijakan OJK tersebut seiring dengan stimulus uang muka nol persen bagi kredit pembelian kendaraan bermotor baru dan pelonggaran loan to value (LTV)/financing to value (FTV) hingga 100 persen BI, serta insentif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) ditanggung pemerintah (DTP) dan pajak pertambahan nilai (PPN) DTP properti.
Dengan seluruh sinergi kebijakan tersebut, kinerja penyaluran kredit perbankan nasional pada bulan September 2021 kembali tumbuh positif sebesar 2,21 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on year/yoy) atau tumbuh sebesar 3,12 persen selama Januari-September (year to date/ytd).
Kredit yang disalurkan tersebar melalui kredit modal kerja yang tumbuh 2,85 persen (yoy), kredit investasi 0,37 persen (yoy) dan kredit konsumsi 2,95 persen (yoy), meningkat cukup besar dibandingkan akhir triwulan II 2021, seiring dengan penurunan kasus harian COVID-19, peningkatan aktivitas ekonomi, dan berbagai upaya OJK, Kemenkeu, BI, dan LPS dalam memberi dorongan pertumbuhan kredit ini.
Secara sektoral, kredit perbankan sektor utama menunjukkan peningkatan, seperti kredit rumah tangga yang tumbuh 2,77 persen (ytd), kredit sektor perdagangan 2,43 persen (ytd), dan kredit sektor manufaktur 2,05 persen (ytd).
Perbankan juga berkontribusi dalam mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional melalui penurunan suku bunga kredit.
Tingkat suku bunga dasar kredit (SBDK) mengalami tren penurunan dari 9,69 persen pada Juni 2021 menjadi 9,66 persen pada September 2021, terutama didorong penurunan komponen harga pokok dana.
Dengan perkembangan tersebut, OJK optimistis pertumbuhan kredit nasional tahun 2021 akan mencapai 4 persen sampai 5 persen.
Target tersebut nampaknya akan terwujud, apalagi mengingat Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara) serempak meyakini bisa menyalurkan kredit cukup tinggi pada tahun ini, yakni tumbuh di kisaran tujuh persen.
Sementara industri keuangan non bank (IKNB) juga membaik dan terus menopang pemulihan ekonomi nasional, di mana pertumbuhan penyaluran pembiayaan pada September 2021 membaik dibandingkan akhir triwulan II-2021, dengan nominal sebesar Rp359,1 triliun.
Risiko pembiayaan mengalami perbaikan yang ditunjukkan dengan rasio pembiayaan macet (non performing financing/NPF) sebesar 3,85 persen pada posisi bulan September 2021, membaik dibandingkan 3,96 persen pada akhir triwulan II-2021.
Industri asuransi mencatatkan penghimpunan premi asuransi pada September 2021 sebesar Rp22,2 triliun dengan rincian asuransi jiwa sebesar Rp15,1 triliun, sedangkan asuransi umum dan reasuransi sebesar Rp7,1 triliun.
Fintech P2P lending pada September 2021 mencatatkan outstanding pembiayaan sebesar Rp27,48 triliun atau tumbuh sebesar 116,2 persen (yoy).
Gearing ratio di perusahaan pembiayaan juga tercatat sebesar 1,95 kali, sementara Risk-Based Capital (RBC) industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing di level 587,7 persen dan 341,6 persen, jauh di atas threshold minimum 120 persen.
Pasar Modal
Tak hanya perbankan dan IKNB, pasar modal pada tahun 2021 juga terus menunjukkan tren penguatan ke level di atas pra-pandemi, dengan total penghimpunan dana hingga 26 Oktober 2021 mencapai Rp273,9 triliun, jauh melampaui nilai penghimpunan dana tahun 2020 yaitu Rp118,7 triliun dan di atas target 2021.
Selain itu, penawaran umum dari 40 emiten baru tercatat sebesar Rp36,36 triliun, namun jumlah penghimpunan dana di pasar modal dapat terus bertambah mengingat terdapat 82 emiten yang akan melakukan penawaran umum senilai Rp43,32 triliun.
Per 25 Oktober 2021, indeks harga saham gabungan (IHSG) menguat 10,81 persen (ytd) ke level 6.625,7 dengan aliran dana masuk non-residen mencapai Rp39,4 triliun.
Bahkan, Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan IHSG sempat menyentuh angka 6.643 di 21 Oktober 2021 atau hampir mendekati rekor tertinggi di level 6.689 pada Februari 2018.
"Mudah-mudahan dengan kondisi sekarang bisa tembus angka itu lagi dan bahkan banyak yang memprediksikan bisa ke angka 7.000," ucap Kepala Divisi Riset dan Pengembangan BEI Verdi Ikhwan.
Rata-rata nilai transaksi harian pada 22 Oktober 2021 meningkat menjadi Rp13,5 triliun per hari, cukup signifikan dibandingkan dengan tahun 2020 yang masih di bawah Rp9 triliun sampai Rp10 triliun per hari.
Indikator lainnya yang menunjukkan perbaikan di pasar modal yakni volume transaksi pencapaian tertinggi rata-rata saat ini bisa mencapai 20 miliar saham per hari, meningkat signifikan dari akhir 2020 yang masih sebesar 11 miliar saham per hari.
Selain itu, rata-rata frekuensi transaksi per hari per 22 Oktober 2021 hampir mencapai 1,3 juta kali, dan berhasil menjadi frekuensi transaksi paling tinggi di ASEAN.
Melesatnya kinerja pasar modal Tanah Air tak terlepas dari kuatnya pengawasan dan peran OJK, sehingga tentunya hal tersebut akan sangat mendorong perekonomian nasional untuk terus bertumbuh dan membuat pasar keuangan Indonesia terlihat menarik di mata investor global.
Baca juga: OJK buka peluang pengawasan digital diterapkan di pasar modal-nonbank
Baca juga: OJK luncurkan aplikasi Obox untuk BPR dan BPRS
Baca juga: OJK paparkan perkembangan dan potensi besar keuangan digital Indonesia
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021