"Bukan zamannya lagi Anggota DPR RI berada di bawah satu komando, lalu lembaga parlemen hanya bertugas mengabsahkan (kepentingan Kabinet) atau sekadar sebagai `rubber stamp`," tandas Hajriyanto yang juga salah satu Ketua DPP Partai Golkar di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan itu, ketika tampil dalam diskusi bertajuk "Politik Undur-Undur" bersamapembicara lain seperti Bima Arya Sugiarto (DPP PAN), Saan Mustopa (DPP Partai Demokrat) dan Mahfudz Siddik (DPP PKS).
Hajriyanto Thohari juga berpendapat, jika pola "penyeragaman" seperti masa lalu diterapkan oleh sekretariat gabungan koalisi partai pendukung pemerintah, maka DPR RI pasti kehilangan legitimasi.
"Makanya, mari kita hormati semua lembaga. Kita hormati presiden dan lembaga kepresiden beserta beragam hak kewajibannya, juga harus hormat lembaga DPR RI," tegasnya.
Ia menegaskan, berbagai upaya mendiskreditkan parlemen, sama saja artinya dengan sikap anti demokrasi, karena inilah salah satu lembaga utama penegak serta penyalur aspirasi rakyat yang harus terus diberdayakan dan ditingkatkan citra maupun legitimasinya.
Menurut dia, anggota DPR RI bukan hanya wakil partai politik atau sekadar "kepanjangan tangan" Koalisi Pendukung Pemerintah di Sekretariat Gabungan (Setgab).
"Dia itu wakil rakyat. Punya konstituen dari daerah pemilihannya yang wajib diperjuangkan segala aspirasinya. Ini demokrasi yang benar," tandasnya.
Dinamika Parlemen
Hajriyanto Thohari juga mengingatkan, mengatur anggota DPR RI tidaklah sesimpel menata parpol di Setgab Koalisi.
"Dinamika parlemen tak sesederhana suasana politik di Kabinet. Ketika kita menghadapi anggota DPR RI, beragam kepentingan yang mesti dipertimbangkan," ujarnya.
Hajriyanto Thohari kemudian menyorot upaya manuver ala sistem setengah kamar saat ini.
"Berbahaya sistem setengah kamar itu. Ini bukan zamannya lagi. Bahwa ada kesepakatan dalam kelompok kecil, lalu mau `diseragamkan` dengan berbagai cara kepada anggota parlemen seperti masa lalu," jelasnya.
Mengenai masa depan koalisi, ia meminta agar, segala manuver saat ini jangan lagi dipakai.
"Yakni, usul angket `mafia pajak` yang gugur lalu berujung pada desakan `reshuffle`, agar hal itu letakkan saja dalam `rahim sejarah`, tak perlu diungkap," tegasnya.
Tapi ia mengakui, ke depan memang perlu penataan koalsi oleh Presiden.
"Itu dijalankan saja oleh Presidan yang memang punya hak untuk itu, dengan memperhatikan sungguh-sungguh ekspektasi publik plus ketidakpuasan sosial. Satu hal lagi yang urgen, sekali lagi Parlemen jangan hanya mengabsahkan atau `rubber stamp`," pungkas Hajriyanto Thohari.(*)
(L.M036*A041/A041)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011