Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menyatakan, penerapan pajak karbon di Indonesia jangan sampai menjadi bentuk pengalihan tanggung jawab korporasi terhadap gas emisi yang telah mereka produksi.
"Tidak cukup hanya mengkompensasi kerusakan dengan membayar pajak, tetapi pembangunan yang bersifat ekstraktif terus berjalan," kata Rachmi Hertanti kepada Antara di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, penerapan pajak karbon memang bisa dinilai sebagai upaya pemerintah untuk memaksa tanggung jawab korporasi yang memiliki dampak terhadap emisi yang mereka hasilkan.
Namun, lanjutnya, hal tersebut dinilai tidak cukup untuk secara konsisten mengarah kepada pembangunan hijau sebagaimana yang kerap didengungkan oleh pemerintah.
"Karena ditakutkan pajak karbon hanya untuk mengalihkan tanggung jawab korporasi dan negara untuk secara serius mendoring terjadinya transisi pembangunan," kata Rachmi.
Untuk itu, ujar dia, harus dikembangkan secara serius konsep pembangunan berkelanjutan dengan pembenahan di berbagai aspek, khususnya yang menyangkut kepada model investasi dan perdagangan.
Begitu juga dalam tataran internasional, IGJ menyatakan adanya agenda liberalisasi perdagangan hijau dan pajak karbon hendak dipaksakan oleh negara maju, khususnya Uni Eropa dan Amerika Serikat, untuk disepakati diluar mekanisme multilateral di WTO.
Menurut Rachmi, Pertemuan KTT Konfersi Iklim PBB (COP26) di Glasgow, 31 Oktober–12 November 2021, akan dipakai oleh negara maju untuk mendesak proposal perdagangan hijau dalam WTO, yang tentu akan berdampak pada ketidakadilan pembangunan bagi negara berkembang dan negara kurang berkembang.
"Desakan negara maju untuk mengatur liberalisasi perdagangan hijau dan pajak karbon di WTO yang hanya akan kembali menimbulkan diskriminasi dan hambatan pembangunan jika tidak dilakukan dengan mekanisme multilateral, yaitu dengan kesepakatan yang bersifat konsensus," ucapnya.
Lebih lanjut, Rachmi menjelaskan bahwa Penerapan aturan pajak karbon, khususnya terkait dengan tindakan unilateral mengenai Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), yang diajukan oleh Uni Eropa, bukanlah solusi yang adil, di mana aturan ini hanya akan menimbulkan diskriminasi dan proteksionisme negara maju yang selama ini tidak pernah mendukung proposal negara berkembang soal agenda perubahan iklim yang berkeadilan.
Sebagaimana diwartakan, Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan bahwa pajak karbon menjadi salah satu alat untuk mengarahkan masyarakat Indonesia kepada aktivitas yang lebih ramah lingkungan atau rendah karbon.
Saat ini pemerintah tengah menyusun peraturan turunan tentang pajak karbon yang didasarkan pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"UU HPP merupakan gambaran besar dan pemerintah saat ini sedang menyusun aturan turunannya baik Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Keuangan yang diharapkan jadi dasar penerapan pajak karbon 1 April 2022," ucap Pande.
Baca juga: Uni Eropa minta negara-negara kenakan pajak karbon
Baca juga: Pajak karbon bikin harga mobil hybrid Toyota turun hingga Rp60 juta
Baca juga: Indef sarankan adanya rancangan pengawasan implementasi pajak karbon
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021