Semarang (ANTARA) - Pegiat pemilu dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah Titi Anggraini mengatakan penyelenggaraan pemilihan umum harus memuliakan manusia (humanis), mengingat pemilu artikulasi pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dan penghormatan terhadap martabat manusia.
"Penyelenggaraan pemilu jangan sampai membahayakan keselamatan warga negara, dan harus mampu menjaga kemurnian suara pemilih sesuai dengan apa yang menjadi kehendaknya," kata Titi Anggraini melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Selasa.
Titi yang juga Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah mengemukakan hal itu seusai Diskusi Publik Seleksi KPU/Bawaslu dan Upaya Mengatasi Kompleksitas Pemilu 2024.
Anggota Dewan Pembina Perludem ini lantas menyebutkan sejumlah pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang terkait dengan HAM dalam pemilu, yakni Pasal 22E ayat (1) menyebutkan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali.
Berikutnya, Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Selanjutnya, Pasal 28H ayat (2) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Menurut dia, makin dominannya barriers to entry dengan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden/pilkada (nomination threshold) dan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) membuat parpol menjadi terhambat mencalonkan kader-kader terbaiknya pada pilpres/pilkada hingga memunculkan fenomena calon tunggal.
Baca juga: Bawaslu: Ada keuntungan UU Pemilu tidak direvisi
Baca juga: Peneliti CSIS: Sistem pemilu proporsional terbuka perlu dievaluasi
"Selain itu, ambang batas parlemen membuat banyak suara sah yang terbuang/suara hangus (wasted votes) yang tidak bisa dikonversi menjadi kursi," ucap Titi.
Di lain pihak, mahar politik (candidacy buying) membuat kesetaraan akses pada pencalonan menghambat para kandidat potensial untuk maju berkompetisi.
Soal ketidakadilan akses dan perlakuan di antara peserta pemilu, menurut Titi, atensi pemilih dan publik didominasi pilpres, mereka acuh pada pemilu anggota legislatif sehingga tingkat pengawasan lemah pada proses pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Ia mengutarakan bahwa hal itu tentunya memicu kecurangan yang merugikan partai dan calon anggota legislatif (caleg). Ditambah lagi, pengetahuan minim pada pemilu anggota legislatif berdampak pada anomali surat suara tidak sah yang sangat tinggi.
Tidak pelak lagi, kata Titi, berpotensi terjadi pembegalan hak caleg untuk menjadi calon terpilih melalui penyelesaian perselisihan antar-caleg yang menyimpangi sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak melalui kudeta suara rakyat oleh suara partai.
"Kuasa uang dan dana kampanye yang tidak akuntabel membuat hak untuk mendapatkan kompetisi yang adil dan setara tidak dapat diwujudkan. Inilah sejumlah persoalan HAM dalam pemilu perlu mendapat perhatian pemangku kepentingan," ujarnya.
Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021