Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu menilai Indonesia telah menjadi salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang dalam tindakan nyata terkait transisi energi yang adil dan terjangkau.
"Hal ini menunjukkan sinyal yang kuat tentang keseriusan Indonesia dalam menangani risiko perubahan iklim,” kata Febrio dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Senin.
Maka dari itu, Pemerintah Indonesia akan mengoptimalkan keterlibatan aktif di berbagai forum internasional, termasuk Conference of the Parties ke-26 (COP26) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai sarana untuk memberi contoh kepada negara lain dan mengkatalisasi kerja sama dalam memitigasi dan mengatasi dampak perubahan iklim dengan tindakan nyata.
Pada 31 Oktober - 12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia, Kemenkeu bersama pemangku kepentingan lainnya menghadiri COP26 atau pertemuan penting terkait upaya global memitigasi dan menanggulangi dampak perubahan iklim.
Febrio berpendapat COP26 merupakan pertemuan yang sangat penting karena menjadi pertemuan tingkat tinggi pertama yang mengevaluasi kemajuan sejak Persetujuan Paris diadopsi pada tahun 2016, saat 191 negara harus menetapkan target yang lebih ambisius dalam kontribusinya untuk aksi perubahan iklim.
"COP26 menjadi harapan besar bagi banyak pihak, termasuk bagi para menteri keuangan hingga lembaga keuangan multilateral dalam menyelesaikan komitmen terkait penurunan emisi," ungkap dia.
Salah satu tema penting dalam COP26 adalah terkait peran pendanaan iklim, di mana negara maju wajib menyediakan sumber pendanaan untuk membantu negara berkembang dalam mengambil tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Indonesia telah mendorong upaya agar negara maju dapat menunjukkan aksi nyata dukungan pendanaannya terhadap negara berkembang, sesuai dengan beberapa isu pembahasan di bawah agenda pendanaan iklim COP26, yakni pembiayaan jangka panjang, di mana negara maju akan memobilisasi dana sampai 100 miliar dolar AS per tahun mulai 2020.
Ia menuturkan Indonesia, khususnya Kemenkeu telah mengawal pembahasan agenda ini dalam berbagai ruang, namun seiring dengan hal itu Indonesia akan terus melakukan aksi nyata dalam penurunan emisi.
"Prioritas utama penurunan emisi gas rumah kaca tersebut berada pada sektor kehutanan, sektor energi, dan transportasi. Ketiga sektor ini telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia," tutur Febrio.
Untuk mendukung hal tersebut, Indonesia melakukan penetapan nilai ekonomi karbon atau yang sering disebut carbon pricing melalui Peraturan Presiden mengenai Nilai Ekonomi Karbon (NEK), dengan skema utama yang meliputi perdagangan karbon, pungutan atas karbon, dan result-based payment.
Pemerintah juga secara nyata menunjukkan dukungan terhadap isu perubahan iklim melalui pengenalan pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang akan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan pemulihan ekonomi serta kesiapan sektor, dimulai dari sektor PLTU Batubara.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2021