"Selama ini visibilitas fisik masih menjadi prioritas utama bagi sebagian besar perpustakaan di Indonesia. Padahal, di sisi lain visibilitas virtual memiliki arti yang sama pentingnya dengan visibilitas fisik," katanya dalam diskusi `Informasi, Perilaku, dan Tren Pengembangan Perpustakaan`, di Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia, meskipun tidak bersifat nyata, visibilitas virtual cukup penting untuk meningkatkan citra perpustakaan dan perguruan tinggi yang menaunginya.
"Bentuk nyata dari visibilitas virtual tidak sekadar `online` atau terhubung dengan internet, tetapi juga dengan selalu memperbarui konten lokal, terhubung dengan jaringan sosial, dan menciptakan media baru untuk interaksi `online` antara perpustakaan, pustakawan, dan pemustaka," katanya.
Ia mengatakan bentuk nyata visibilitas virtual juga bisa dengan memperkaya koleksi konten digital lokal untuk meningkatkan Webometrics, memfasilitasi interaksi antarperpustakaan dan sivitas, dan selalu memperbarui situs web perpustakaan.
Kepala Perpustakaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ida Fajar Priyanto mengatakan dalam delapan tahun terakhir terjadi sejumlah perkembangan di berbagai perpustakaan Asia Tenggara dan Amerika.
Menurut dia, terdapat sembilan tren pengembangan perpustakaan di Asia Tenggara dan Amerika, yakni mengembangkan pelayanan informasi yang lebih nyaman, perpustakaan digital mobile, penyediaan jaringan sosial layanan perpustakaan jarak jauh, sistem manajemen perpustakaan virtual.
"Selain itu, pelayanan berfokus pada `return on investment`, pelayanan referensi dan literasi informasi, dan menjadikan perpustakaan selayaknya rumah," katanya. (B015/M008/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011