Gorontalo (ANTARA News) - Risno Ahaya, laki-laki tunanetra berusia 51 tahun, adalah salah satu pegambus yang sering membawakan "tanggomo", seni tutur yang lebih dikenal dengan pantun khas Gorontalo.

Dalam ber-tanggomo, pria itu selalu mengiringi pantun Gorontalo yang berisi tentang kisah percintaan, kepahlawanan, tragedi, sindiran, nasihat, bahkan lelucon, bersama petikan gambus tuanya.

Risno mulai memetik gambus dan menembangkan "tanggomo" sejak masih berumur 10 tahun, hal itu ditekuninya secara otodidak. "Saya belajar sendiri, tidak ada yang mengajari," ujar Risno.

Bahkan, gambus yang sering dipetiknya saat hendak menembangkan `tanggomo` pun adalah buatannya sendiri.

Dirinya sering menceritakan tentang berbagai macam peristiwa yang terjadi di lingkungannya sehari-hari, dan hal itu tidak melalui proses tulis terlebih dahulu, tapi hanya mengandalkan ingatan yang kuat, kemudian langsung digubah dalam syair yang disampaikannya dalam bertanggomo.

Meski di tengah hiruk-pikuk musik jazz, rock n roll, alternative, dangdut dan pop dirinya masih tetap eksis untuk menembangkan `tanggomo` hingga saat ini.

Berkat bertanggomo, selain mengukir prestasi yang mengagumkan, dirinya juga menjadi salah satu seniman yang namanya cukup melegenda dalam dunia kebudayaan Gorontalo.

Prestasi pertama yang di raihnya adalah pada saat mengikuti festival budaya pada tahun 1982 dan berhasil meraih juara satu, dan hal itu tetap di pertahankannya hingga 1984. Saat itu dia banyak mengenal pegambus lainnya seperti Salim Kude, Marlina Otoluwa, Hadidjah Hamid, Nurjannah Sama`u, yang juga sering mengikuti pergelaran festival budaya ataupun kejuaraan gambus.

"Di tahun 1985 saya menikah, dan sudah tidak lagi mengikuti festival serupa," kata Risno.

Selanjutnya, di tahun 2001 dirinya sempat mendaftar dalam festival seni gambus yang diadakan oleh salah satu stasiun radio swasta di Gorontalo, tapi sayang dirinya ditolak mentah-mentah oleh panitia pelaksana kegiatan tersebut. Hal itu terjadi karena menurut mereka Risno sudah tidak layak mengikuti kejuaraan di tingkat lokal.

Meski tidak lagi diperkenankan untuk mengikuti kejuaran ataupun festival gambus, dirinya masih tetap hadir dalam berbagai kegiatan penting yang diselenggarakan oleh para pembesar daerah.

Dia sering mendapatkan undangan untuk bertanggomo pada perhelatan acara penyambutan tamu yang berasal dari luar daerah, dan tak jarang juga dia melayani permintaan dari kelompok masyarakat yang akan melaksanakan suatu kegiatan kebudayaan.

Bertahan Hidup
Dengan kondisi tubuh yang sudah mulai dimakan usia, Risno dengan rambut panjang memutih yang selalu diurai masih sering menembangkan `tanggomo` di sejumlah pasar tradisional.

Hal itu di lakoninya dengan alasan bahwa tidak ada pekerjaan lain yang dapat dilakoninya, sementara tuntutan kebutuhan rumah tangganya terus memburu menagih tanggung jawabnya sebagai suami serta bapak bagi istri dan 4 orang anak.

"Kalau saya tidak memetik gambus lagi, maka istri dan anak-anak saya makan apa nanti," katanya.

Sebagai seorang tunanetra, dia pantang menjadi seorang peminta-minta seperti yang sering dijumpai di pusat-pusat perbelanjaan."Saya malu jika harus jadi peminta-minta di jalanan," kata Risno.

Dalam sehari penghasilan yang di dapatkan dari bertanggomo di pasar-pasar tradisional, tidak menentu. Kalau lagi beruntung, ia bisa mengantongi uang Rp20.000 hingga Rp21.000, sementara jika sedang apes dia hanya bisa mendapatkan uang sebanyak Rp15.000 sampai Rp18.000.

Kadang, penghasilan yang didapatkannya tidak bisa memenuhi kebutuhan makan seluruh anggota keluarganya, sebab hasil yang didapatkan kebanyakan hanya habis buat ongkos jasa kendaraan, dan jika dalam kondisi demikian maka dirinya terpaksa hanya cukup merasa puas dengan sebungkus rokok tanpa harus makan.

"Yang penting istri dan anak-anak saya bisa makan," ujar Risno.

Sementara dalam meladeni undangan para pembesar atau pejabat pemerintah dan kelompok lainnya, dirinya bisa mendapatkan rezeki dalam bentuk uang dengan jumlah yang bervariasi dimulai dari Rp50.000, Rp150.000, hingga Rp250.000, namun juga ada yang tidak membayar sama sekali.

Seumur hidupnya, dia hanya sekali mendapatkan uang dalam jumlah besar yakni sebanyak Rp700.000 dari seseorang.

Dalam beberapa waktu terakhir ini untuk menafkahi keluarga rasanya sudah semakin sulit, sebab ketika hendak menembangkan tanggomo di pasar tradisional, suaranya tidak sanggup melawan kebisingan kehidupan pusat perbelanjaan itu.

Oleh karena itu, dia bercita-cita untuk segera memiliki perangkat alat pengeras suara yang bisa membantunya dalam menyampaikan syair dan suara gambusnya ke orang-orang di pasar tersebut.

Keinginannya untuk memiliki alat pengeras suara tersebut hanya sebatas angan saja, mengingat kondisi ekonominya yang sangat memprihatinkan.

Saat ini dirinya hanya bisa meminjam tempat para penjual obat tradisional yang biasa berjualan dengan menggunakan pengeras suara guna menarik para pengunjung.

Tapi, seringkali Risno baru diberikan kesempatan untuk menembangkan tanggomo pada saat para pengunjung sudah tidak lagi berkerumun di tempat itu.

"Meski begitu saya sudah cukup bersyukur masih bisa menembangkan beberapa syair," kata Risno.
(KR-MTO/H-KWR)

Pewarta: Wahiyudin Mamonto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011