Jakarta (ANTARA News) - I love power. But it is as an artist that I love it. I love it as a musician loves his violin, to draw out its sounds and chords and harmonies, kata Napoleon Bonaparte.

KEKUASAAN memang menarik untuk diperbincangkan, tidak hanya oleh orang-orang yang mengangan-angankannya, tetapi bahkan juga oleh mereka yang tidak memilikinya.

Dulu saya pernah membaca buku tentang satir kekuasaan. Buku itu klasik, isinya adalah perbincangan alias obrolan lama beberapa orang mabuk tentang kekuasaan. Mereka bukan para pemabuk kekuasaan, tetapi orang-orang yang sambil minum sake, minuman khas Jepang, dan mulai bicara-bicara soal kekuasaan. Mereka adalah orang-orang Jepang zaman dulu karena buku itu berlatarbelakang sejarah Jepang pada masa awal kontak mereka dengan Barat.

BTW, kekuasaan memang boleh diobrolkan oleh siapa saja, dengan kegairahan, penguasaan persoalan, motivasi politik, dan lain sebagainya. Dulu, waktu zaman depolitisasi, memperbincangkan kekuasaan dibatasi. Itu urusan mahasiswa fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Yang penting adalah pembangunan, perut tidak keroncongan karena ada pangan, badan tak kedinginan karena ada pakaian, dan tak hidup jadi gelandangan karena ada papan.

Soal kekuasaan, cukuplah serahkan saja pada yang mengurus negara. Tak usah diutak-atik. Tapi, namanya juga rakyat, ada saja yang tidak mematuhi pola pikir sedemikian. Ada yang mulai kritis, ada yang mulai berani bertanya ini itu. Ada yang mempersoalkan kejanggalan-kejanggalan para pemegang kekuasaan. Soalnya yang mengemuka tak hanya pembangunan sebagaimana yang diceritakan, tetapi juga yang tak kalah penting ekses-eksesnya.

Pemegang kuasa pun mulai enggan untuk terus-menerus persuasif. Pendekatan yang dipilih bukan lagi yang merupakan reprsentasi dari peradaban baik yang dijanjikan modernisasi, tetapi hal-hal kuno yang primitif dan represif. Kritisisme rakyat dibungkam sedemikian rupa. Jargon tentang orang kecil harus bisa terus tertawa, terus berlaku. Hanya saja, rakyat tertawa dalam kegetiran.

Pada era itu, seorang penyair mengkritik negara dengan upayanya untuk menyimpulkan seuatu yang antagonistik, bahwa kalau negara mau kuat, maka rakyat harus dilemahkan. Negara menjadi satu entitas yang sungguh-sungguh eksklusif. Pemimpin puncaknya ramah dan penuh senyum, tetapi rakyat mencekam manakala, ia bilang, kalau macam-macam, ya bisa saya gebuk. Para sosiolog kemudian sibuk mengenakan istilah state of fear alias negoro medheni dalam analisis-analisis mereka.

Kini situasinya sudah lain. Negara sudah bukan lagi entitas politik yang Leviatanistik dan mensteristik. Rakyat bebas mengekspresikan hal-hal yang tidak disukainya, secara spontan, bahkan sering berujung anarki. Catatan-catatan konflik-konflik sosial horisontal dalam masyarakat sepanjang era Reformasi ini, sudah cukup panjang. Salah satu penjelasan mengapa bara itu menyala sedemikian mengerikan ketika politik dilonggarkan?

Ketika politik longgar, seperti karpet yang tergulung, dan di bawah karpet itu isu-isu SARA mengemuka, beterbangan kian kemari dan berbenturan. Dulu, almarhum Dr Alfian, salah satu ilmuwan politik Orde Baru (saya sering ditanya apakah masih keponakannya, biasanya supaya tidak repot-repot saya iya, padahal saya orang Solo dan almarhum itu orang Solok) mengibaratkan kedigdayaan negara terletak pada kemampuannya dalam menjalankan politik gelang karet.

Politik gelang karet dipakai untuk mengelola stabilitas dengan pendekatan represi aparat negara, yakni militer (termasuk di dalamnya polisi). Gejolak sosial diredam cepat dengan pendekatan keamanan. Artinya gelang karet di-mungkret-kan. Ketika isu-isu SARA itu tertutup kembali secara rapi di bawah karpet (saya mendengar istilah ini pertama kali dari senior HMI saya, Ridwan Saidi), maka gelang karet dilonggarkan.

Pada masa sekarang, ketika kita menyaksikan peristiwa kerusuhan sosial berdimensi SARA atas kelompok yang kebetulan mayoritas kepada yang minoritas, misalnya dalam tragedi kekerasan terhadap Ahmadiyah, atau terhadap simbol-simbol keagamaan seperti terjadi di Temanggung belum lama ini, maka orang justru bertanya: di mana negara?

Aparat kepolisian atau piranti-piranti keamanan kita memang terbatas. Gejolak orang-orang marah dan berbuat rusuh, sering tak mampu diatasi oleh personalia keamanan yang terbatas. Tetapi, setidaknya, manakala para pemimpin, khususnya yang merepresentasikan negara tegas, maka kerusuhan sosial dapat diantisipasi, dicegah, dan bahkan kepada kelompok-kelompok radikal yang berbuat onar, langsung ditindak tegas secara hukum.

Dalam negara demokratis-konstitusional, negara bukan tidak boleh kuat. Bahkan, negara harus kuat. Kuat, bukan dalam arti untuk menindas rakyatnya, tapi kuat dalam menjalankan agenda-agenda konstitusi.

Orang sering mencontohkan Obama dan Walikota New York yang atas nama konstitusi mengeluarkan sikap dan kebijakan yang tidak populer, yakni tetap memperbolehkan pembangunan masjid (Islamic Centre) di lingkungan Ground Zero sehingga mengakhiri polemik panjang yang memungkinkan wacana dan aksi diskriminatif mengemuka.

Tentu sangat wajar, manakala orang berbincang-bincang soal kekuasaan, menyerempet-nyerempet style leadership para pemegang kekuasaan. Mereka juga membahas bagaimana sebuah kebijakan publik ambil, dan apa pula dampaknya bagi masyarakat luas, terlebih apakah kebijakan itu akan membuat taraf hidup masyarakat dapat membaik atau sebaliknya.

Salah satu inti kekuasaan adalah pengaruh. Orang yang punya kuasa, semakin kuasa, semakin efektif daya influensialnya, bahwa yang dikuasai akan menjalankan apa-apa yang dimaui. Orang yang punya kuasa, punya daya paksa yang merentang dari ekstrim hegemoni ke dominasi. Semakin canggih penguasa, semakin hegemonik (orang patuh pada agenda negara tanpa harus digertak-gertak). Semakin tak canggih, semakin dominatif (pemaksaan, represif). Kualitas komunikasi pemegang kekuasaan atau pemimpin politik diuji disini.

Maka larinya, kita bicara juga soal pemimpin. Kualitas kepemimpinan, terlihat dari bagaimana seorang pemimpin mengelola kekuasaan yang ada.
Banyak hal yang perlu kita diskusikan tentang kepemimpinan (sebagaimana pernah saya ulas panjang lebar di buku saya Menjadi Pemimpin Politikterbitan Gramedia, 2009), tetapi setelah saya renungkan, dan kalau boleh saya menentukan satu kata adalah "tanggungjawab".
Pemimpin itu tanggungjawabnya lebih dari yang lain. Kelak di akhirat, kata para ustadz, ia akan ditanya atau dikalkulasi paling akhir, setelah orang-orang yang dipimpinnya.

Tanggungjawab itu terkait dengan banyak hal : bagaimana pemegang kekuasaan memaknai amanat dan menjalankannya dengan keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan yang menentukan nasib orang banyak. Ini karena tugas pemimpin adalah memutuskan sesuatu.

Untuk memutuskan diperlukan seni-seni mempertimbangkan dan memanfaatkan segenap sumberdaya. Seni untuk membuat lagu dan memainkan sebuah orkestra.

Sekian dulu. Lain kali disambung. Wasalam!**

M Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta


Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011