Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa pada Senin masih ada 61 warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Libya, diantaranya staf Kedutaan Besar RI (KBRI) Tripoli, mahasiswa, dan tenaga kerja Indonesia.

"Menurut catatan Kemlu, saat ini sekitar 61 WNI berada di Libya, termasuk staf KBRI, sejumlah mahasiswa dan tenaga kerja Indonesia," kata juru bicara Kemlu RI Michael Tene kepada wartawan di Jakarta, Senin.

Ia menjelaskan bahwa satgas untuk evakuasi WNI masih meninjau upaya pemulangan sisa warga Indonesia yang masih berada di Libya.

Ia menerangkan, hingga saat ini sudah tercatat 809 orang yang terevakuasi, yaitu 489 orang melalui dua tahap penerbangan dilakukan dari Tunis, ibu kota Tunisia, 34 orang melalui perbatasan darat, evakuasi secara mandiri sebanyak 92 orang, dan 192 orang keluar dari Libya sebelum krisis terjadi.

"Dari dua tahap penerbangan yang mengangkut 489 orang, sebanyak 229 WNI yang sudah tiba di Indonesia, sekitar 260 orang yang masih ditampung di KBRI Tunis," kata juru bicara.

Ia menjelaskan bahwa para staf di KBRI Tripoli masih mencoba menjangkau sebanyak mungkin warga Indonesia yang ada di Libya di luar ibu kota Tripoli.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, Ban Ki-moon, pada Minggu berhasil meyakinkan menteri luar negeri Libya agar membolehkan tim pemeriksa kemanusiaan untuk berkunjung ke Tripoli, kata seorang juru bicara PBB.

PBB juga akan menunjuk seorang utusan untuk berhubungan dengan rezim pemerintah Libya tersebut.

Mantan menteri luar negeri Yordania Abdelilah Al-Khatib akan melakukan "konsultasi mendesak" dengan pemerintah Gaddafi terkait pertempuran dengan pasukan pemberontak dan bekerja guna mengatasi krisis kemanusiaan yang ditimbulkannya, kata juru bicara PBB Martin Nesirky.

Perserikatan Bangsa Bangsa telah meminta akses mendesak ke kota Misrata di Libya yang dikuasai para pemberontak, yang sempat diserang oleh pasukan pendukung permerintah, dan Sekretaris Jenderal PBB juga menyampaikan kekhawatiran yang terus tumbuh terkait apa yang disebutnya sebagai "penyalahgunaan" kekuatan oleh Gaddafi.

"Ban secara tegas meminta agar pertempuran dihentikan dalam pembicaraan teleponnya dengan Menteri Luar Negeri Libya Mussa Kussa," kata Nesirky.

Ban meminta kepada pemerintah Gaddafi agar dapat menjamin semua warga asing dan tidak mempersulit akses bagi organisasi kemanusiaan yang ingin membantu warga yang membutuhkan bantuan.

"Dalam hal itu, ia menyarankan pengiriman tim penilai kemanusiaan dengan segera menuju Tripoli, permintaan yang disetujui oleh menteri luar negeri," kata Nesirky.

Tim tersebut dibentuk oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) yang memiliki pengetahuan luas tentang medan di Benghazi, ibu kota pemberontakan di Libya timur.

Belum diketahui apakah tim tersebut dibolehkan untuk memasuki Tripoli, atau menuju kota-kota lainnya.

Ban sempat berbicara dengan Gaddafi pada 21 Februari namun ia tidak berhasil meyakinkan pemimpin Libya itu untuk menghentikan tindakan tegasnya terhadap aksi protes pihak oposisi yang telah menelan nyawa ratusan orang itu, menurut kelompok pemantau hak asasi manusia.

Dewan Keamanan PBB memberlakukan sanksi terhadap Gaddafi lima hari setelah pembicaraan itu.

PBB mengatakan bahwa mantan menteri luar negeri Yordania itu akan tiba di New York pekan ini sebelum menerima tugasnya di wilayah tersebut.

(KR-IFB/E001/S026)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011