Washington (ANTARA News) - Ketika Presiden AS Barack Obama mempertimbangkan aksi militer terhadap Libya, muncul gema perdebatan kebijakan yang mengamuk pada 1990-an menyangkut perang di Balkan.

Kesejajaran tersebut berkenaan dengan tuntutan para senator untuk melakukan aksi berani dari udara guna melindungi nyawa rakyat sipil, situasi krisis kemanusiaan yang berkembang, dan peringatan hati-hati militer AS mengenai risiko intervensi, demikian AFP melaporkan.

Pentagon dan Gedung Putih terkadang mengirim sinyal membingungkan tentang kemungkinan zona larangan terbang di Libya, namun ditandaskan oleh para pejabat AS bahwa tidak ada keretakan militer-sipil seperti yang kentara pada masa kepresidenan Bill Clinton atas bekas Yugoslavia.

Menteri Pertahanan Robert Gates dan perwira tinggi militer AS, Admiral Mike Mullen, tidak antusias pada zona larangan terbang atas Libya minggu ini, sedang Gates mengritik tindakan militer sebagai "kebanyakan ngomong" .

Tanggapan keduanya muncul beberapa hari setelah Menteri Luar Negeri Hillary Clinton mengatakan zona larangan terbang sedang dipertimbangkan, akan tetapi para pejabat mengatakan kecil kemungkinan ketidaksepahaman dan menyatakan tidak ada upaya dari Pentagon untuk membelenggu Gedung Putih.

"Mereka hanya bersikap jujur tentang apa yang terjadi," kata seorang pejabat pertahanan, yang tak mau disebutkan identitasnya, kepada AFP.

Pada dengar pendapat Senat sebelumnya minggu ini, Clinton membandingkan dilema kebijakan atas Libya dengan konflik di Balkan ketika suaminya menjadi panglima perang.

Pertarungan kebijakan paling serius menyangkut Balkan terfokus pada apakah akan melampaui zona larangan terbang dan mengambil tindakan militer, termasuk pemboman, terhadap kekuatan-kekuatan Serbia di Bosnia, dan kemudian di Kosovo.

Amerika Serikat dan sekutunya NATO pada akhirnya memilih serangan udara sesudah perdebatan selama bertahun-tahun, meskipun pada awalnya para komandan militer, termasuk perwira tertinggi Jenderal Colin Powell, sangat enggan.

Frustrasi terhadap pendirian Powell, kemudian pada waktu itu duta besar PBB Madeleine Albright terkenal dengan pertanyaannya, "Apa maksudnya memiliki militer sangat kuat ini, yang selalu anda dibicarakan, jika kami tidak dapat menggunakannya?"

Robert Hunter, duta besar NATO di bawah presiden Clinton, yakin zona larangan terbang atas Bosnia sebagian besar gagal, karena kekuatan-kekuatan Serbia masih dapat menyerang dengan tank dan altileri di darat.

Serangan udara NATO, namun, terbukti menentukan, katanya.

Mantan diplomat tersebut menolak jika zona larangan terbang terhadap Libya sia-sia.

"Orang kini berbicara tentang zona larangan terbang tanpa berpikir bagaimana memberlakukannya, namun lebih penting lagi, mungkinkah akan ada dampaknya?" katanya.

"Jikalau anda menghentikan seluruh penerbangan di atas Libya anda tidak akan menghentikan kemampuan Kadhafi untuk membunuh orang, yang menimbulkan rasa puas."

Sebagai gantinya, Amerika Serikat dan mitra-mitranya perlu mencari jalan guna melengserkan Kadhafi dari kekuasaan dengan mempersenjatai kaum oposisi ataukah mendekati anggota-anggota rejim bersama dengan negara-negara Arab lainnya.

Dengan menyebutkan bahaya yang mengancam rakyat sipil, Senator John McCain di Kongres memelopori seruan tindakan cepat di Libya, mendesak pemberlakuan zona larangan terbang dan kemungkinan melakukan operasi tertutup.

"Jika anda menginginkan Kadhafi pergi, maka satu langkah diantara banyak langkah, buat zona larangan terbang yang mencegah dia membantai rakyatnya sendiri dari udara," kata MaCain Jumat.

Penindakan terhadap Libya memusingkan kekuatan-kekuatan dunia secara diplomatik seperti konflik di Balkan, karena mengamankan mandat PBB untuk zona larangan terbang terbukti sulit dipahami, kata Richard Fontaine, profesor senior di Center for a New American Security.

"Mungkin Rusia dan China akan menentang zona larangan terbang pimpinan AS dan NATO. Jadi AS harus memutuskan apakah akan terus maju tanpa mandat PBB," kata Fontaine.

Zona larangan terbang yang diterapkan di Bosnia dan Irak pada 1990-an berhasil menutup kekuatan udara namun operasi-operasi tersebut harus didukung dengan banyak pesawat tempur selama bertahun-tahun dan -- dalam kedua kasus tersebut -- kekuatan-kekuatan darat bergerak tanpa kesulitan.

Sifat zona larangan terbang yang terbuka juga berpotensi menyeret negara-negara untuk secara perlahan-lahan memberlakukan tindakan militer lebih langsung, sebagaimana halnya dengan kasus Bosnia dan Irak.

Tidak seperti di Balkan, intervensi di Libya lebih tinggi taruhan strategisnya, yakni kerusuhan yang menyapu seluruh wilayah negara kaya minyak itu.

Melancarkan tindakan militer dapat menjadi bumerang dan menyebarkan sentimen anti-AS di dunia Arab, sementara membiarkan Kadhafi tetap berjaya dapat mengurangi gerakan protes lain, kata Fontaine.

"Jadi ini keseimbangan yang sulit dilalui -- di satu pihak kami tidak ingin mengambil risiko aksi kontra produktif apapun. Namun di pihak lain kami berkepentingan pemberontakan ini berhasil -- tidak hanya karena faktor Libya tetapi karena dampak riak yang akan terjadi di tempat lain, satu atau lain cara," katanya. (ANT/K004)

Pewarta: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011