Krisis ekonomi di negara itu bisa memicu konflik yang sama, tetapi tidak dalam jangka waktu dekat"

Jakarta (ANTARA News) - Gelombang revolusi rakyat di Timur Tengah ternyata mencemaskan banyak bagian dunia, hingga menyeberang Samudera Atlantik di benua Amerika, termasuk Havana, Kuba, yang berjarak 9.160 km dari Tripoli, Libya.

Saat ini ada skenario, terutama tentu saja Amerika Serikat yang sangat berharap Kubah berubah, angin Timur Tengah dan Afrika Utara, juga sampai di negeri musuh bebuyutan Amerika Serikat itu.

Namun demonstrasi rakyat yang berhasil menjungkalkan para diktator di Afrika Utara itu tampaknya tak akan terjadi di Kuba kendati rakyat negara itu berada di bawah kekuasaan komunis yang sama-sama monolitik seperti di Libya atau kebanyakan negara Arab.

"Di Kuba pengangguran dan korupsi tidak dipandang dengan cara yang sama seperti di dunia Arab dan tidak memantik kemarahan publik," kata seorang pakar ekonomi khusus kepada AFP, Jumat.

"Negara (Kuba) kurang lebih bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya, korupsi tidak begitu parah, dan tidak ada kelas masyarakat superkaya yang suka memamerkan Ferari mereka," kata pakar yang meminta namanya tidak disebutkan itu.

Arturo Lopez-Levy dari Universitas Denver, Amerika Serikat, menambahi bahwa konflik berkepanjangan antara Kuba dan AS juga telah membentuk pola pikir rakyat Kuba dan itu digunakan pemerintah Havana.

Presiden Kuba Raul Castro terus mengibarkan sentimen nasionalisme, memanfaatkan isu imperisalisme Amerika dan menggunakan bantuan media milik pemerintah, perasaan anti AS ditanam dalam-dalam pada benak rakyat Kuba.

Para aktivis di Tunisia dan Mesir telah menggunakan media sosial seperti Twitter dan Facebook untuk mengorganisasi demonstrasi massa yang kemudian berhasil menggulingkan pemerintah yang tiranis.

Di Kuba, para blogger antiCastro juga mengirimkan ajakan demonstrasi kepada rakyat via internet, tetapi sayang tidak seorang pun mau datang memenuhi undangan itu.

Itu menandakan adanya jurang komunikasi di antara rakyatnya.

Corong pemerintah komunis di Kuba, 'Granma', mengolok-olok undangan itu dan terutama karena hasilnya yang nihil itu.

"Haruskah rakyat Kuba menentang sistem layanan kesehatan gratis kita? Haruskah rakyat Kuba menentang sistem pendidikan gratis kita? Haruskah rakyat Kuba bangkit mendukung dominasi AS?" tulis media milik pemerintah Kuba itu dalam nada ironistis.

Pemerintah Castro memang masih bisa menyunggingkan senyum, tetapi menurut para analis hal itu tidak akan lama karena perubahan di Timur Tengah terus berlangsung.

"Krisis ekonomi di negara itu bisa memicu konflik yang sama, tetapi tidak dalam jangka waktu dekat," kata Roberto Veiga, editor majalah Espacio Laical, milik gereja Katolik.

"Rakyat pada dasarnnya berusaha mewujudkan perubahan tetapi melalui reformasi, bukan revolusi atau kekerasan," pungkasnya. (*)

AFP/Liberty

Penerjemah:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011