Jakarta (ANTARA) - Bentang Nusantara adalah kekayaan yang tak terindahkan menilik zat dan berkah yang terkandung.
Dari cakrawala samudra dan hamparan daratan, dua sisi tersebut memliki sumber daya alam yang melimpah.
Tidak hanya satu maupun dua, namun kandungan alam Indonesia merupakan implementasi dari tabel periodik dengan berjuta manfaat, di antaranya adalah penghasil energi, yaitu gas dan minyak.
Minyak dan gas bumi (migas) adalah sumber daya alam yang nyata dimiliki Indonesia, namun pengelolaannya masih menjadi dua mata pisau yang saling berpaut.
Jika tidak dikelola dengan baik, maka hanya akan menjadi keuntungan bagi segelintir pihak saja, bukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kisah dari barat Indonesia, adalah satu contoh dari dampak pengelolaan yang harus diwaspadai.
Tertangkapnya Mantan Gubernur Sumatra Selatan Alex Noerdin, dalam kasus jual-beli gas yang merugikan negara ratusan miliar rupiah, mengindikasikan bahwa mafia migas juga bergentayangan di daerah.
Bahkan, sebelumnya ada beberapa Bupati dan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus serupa. Barangkali masih banyak penguasa daerah yang belum terungkap dan tertangkap dalam kasus jual-beli gas di daerah.
Baca juga: Bidik target produksi 2030, tata kelola hulu migas butuh pembenahan
Baca juga: Anggota DPR dorong tata kelola migas yang lebih optimal
Menurut pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi ada dua sasaran yang dimanfaatkan mafia migas dalam pemburuan rente di daerah. Pertama, pemilikan 10 persen Profitability Index (PI) yang diberikan kepada Daerah penghasil Migas.
Kedua, porsi bagi Pemerintah Daerah dalam menjual migas yang dihasilkan di daerah bersangkutan. Lantaran modal yang terbatas untuk menebus 10 persen PI, Pemerintah Daerah sering kali menggadaikan PI kepada perusahaan swasta, yang sesungguhnya modal juga terbatas. Dengan PI di tangan perusahaan swasta, hal tersebut berpotensi itu mencarikan modal pinjaman di bank untuk menebus kompensasi pengelolaan PI.
Sedangkan penjualan jatah gas bumi, perusahaan swasta yang ditunjuk menjual kembali ke Perusahaan lain, pemilik infrastruktur pipa yang menghubungkan dari sumber gas di daerah dengan konsumen akhir.
Untuk kedua modus tersebut, perusahaan swasta sebenarnya berperan hanya sebagai makelar saja, sebab menurut Fahmy perusahaan swasta bisa leluasa berburu rente migas di kawasan daerah karena memanfaatkan kelemahan tata kelola dan memiliki kedekatan dengan penguasa pengambil keputusan di daerah.
“Paling tidak ada dua upaya yang dapat dilakukan untuk meminimkan pemburuan rente migas. Pertama, memperbaiki tata Kelola migas dengan sangat transparan, yang siapa pun dapat mengawasi keputusan jual-beli Migas,” kata Fahmy.
Selain itu, penyusunan peraturan Tata Kelola tidak bias dengan kepentingan pihak tertentu. Kedua, menempatkan pengambil keputusan yang punya integritas dan tidak mempan dari berbagai jenis suap.
Baca juga: Pemanfaatan gas bumi domestik capai 65,91 persen
Baca juga: Sektor migas jadi andalan penuhi kebutuhan energi di masa depan
Transparansi
Upaya meminimalisir adanya malfungsi tata kelola migas, Pertamina berupaya dengan mengedepankan aspek transparasi tata kelola, khususnya dari sisi distribusi yang rawan fraud atau potensi kerugian. Contoh transparansi sistem dimulai dari Pertamina International Shipping (PIS).
PIS menggelar kegiatan rapat koordinasi setelah resmi sebagai subholding integrated marine logistics membahas tata kelola bisnis dan penyelesaian fraud yang dilaksanakan pada tanggal 22-23 September 2021.
Direktur Niaga PT Pertamina International Shipping, Riva Siahaan menyampaikan PIS harus mampu mengantisipasi munculnya potensi fraud, maka fraud harus dihilangkan khususnya di lokasi kerja PIS.
Fraud harus dicegah dan diantisipasi sehingga tidak memberikan dampak kepada perusahaan baik secara operasional maupun komersial.
Merespon perubahan PIS menjadi subholding Integrated Marine Logistics, terdapat beberapa usulan perubahan bisnis proses untuk mencegah terjadinya fraud di internal perusahaan.
Perubahan bisnis proses tersebut berfokus pada empat fungsi yakni fungsi ship performance, fungsi security, fungsi legal serta fungsi operations services yang nantinya perlu adanya sinergi antar fungsi untuk mencegah terjadinya fraud di internal perusahaan.
Riva juga menambahkan, bahwa kegiatan ini merupakan wadah bagi stakeholders untuk berdiskusi, bertukar pikiran serta merumuskan hal apa saja yang bisa dilakukan untuk mengurangi, mencegah serta menyelesaikan hal tersebut.
PIS sebagai perusahaan yang bergerak di sektor maritim dan logistik, bertanggung jawab terhadap distribusi gas atau minyak bumi baik dari Indonesia maupun ke luar negeri memiliki tantangan tersendiri.
Sinergi antar fungsi menjadi penting untuk menghadirkan suatu sistem tata kelola maupun proses bisnis yang dapat mencegah terjadinya tindakan fraud.
Upaya yang dilakukan antara lain koordinasi antar Holding/ Subholding/ Fungsi dengan membentuk Tim Evaluasi Penanganan Cargo Loss Lintas Subholding kemudian melakukan evaluasi database crew blacklist dan koordinasi bersama dengan internal PIS untuk meningkatkan validasi bukti, enforcement penahanan dan pemotongan pembayaran uang sewa.
Saat ini, PIS telah memiliki beberapa sistem untuk mencegah terjadinya fraud seperti penetapan unaffordable transportation loss sebesar 0,07 persen, lalu yang kedua penerapan sistem transfer muatan dari storage, jetty lalu ke kapal di masing-masing terminal, terakhir, PIS juga memiliki sistem terkait kompetensi dan keahlian dari masing-masing pekerjanya.
Pertamina menciptakan suatu sistem prosedur yang terintegrasi, terkonsolidasi dan terharmonisasi agar dari hulu sampai hilir memiliki standar operasi dan prosedur yang sama.
Pemanfaatan sistem berbasis digital atau artificial intelligence (AI) menjadi suatu hal yang saat terus didorong untuk memudahkan dalam melakukan pengawasan terhadap hal-hal penyimpangan yang terjadi.
Baca juga: Pertamina telah pasang "propylene splitter" di proyek RDMP Balikpapan
Baca juga: Erick Thohir pantau transformasi BUMN di Sumatera Selatan
Selain transparansi, integrasi dengan lembaga yang berwenang dalam menangani fraud dan korupsi sangatlah penting. Oleh karena itu, Pertamina dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meningkatkan sinergi untuk memperkuat penerapan Good Corporate Governance (GCG) dalam kerangka implementasi ESG (Environmental, Social, and Governance) khususnya aspek tata kelola di seluruh lini bisnis dan operasi perusahaan.
Dukungan pendampingan dan pengawasan dari KPK yang secara terus-menerus pada seluruh kegiatan usaha yang sedemikian besar dan melibatkan banyak stakeholder, diharapkan dapat berjalan dengan baik melalui penerapan GCG yang tepat, termasuk upaya pencegahan tindak pidana korupsi.
Dengan aset yang bernilai besar, upaya transformasi tata kelola korporasi secara global juga diperkuat pada lingkup up stream (Eksplorasi, Pengembangan, Operasi dan Produksi), bukan hanya pada proyek daerah saja.
Setelah selesai tahapan Legal Establishment Subholding Upstream Pertamina dilakukan, berbagai upaya transformasi menjadi perusahaan energi nasional bertaraf dunia terus dilakukan. Salah satu langkah terobosan yang dilakukan adalah melalui program OPTIMUS, yaitu sebuah strategi optimasi biaya melalui efisiensi operasi, implementasi teknologi tepat guna, integrasi procurement dan penggunaan fasilitas bersama.
“Hingga Agustus 2021 kami dapat melakukan optimasi biaya sebesar 358 juta dolar atau sudah melebihi 115 persen dari target optimasi biaya tahun 2021 sebesar 310 juta dolar AS," jelas Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis Pertamina Hulu Energi, John H Simamora.
Optimasi biaya ini diperoleh dari 136 program yang telah terlaksana. Salah satu program tersebut adalah MAXTER atau Optimisasi Material Ex Lapangan Terminasi, di mana melalui Maxter ini kami bisa mengoptimalkan material pemboran dari lapangan ex terminasi untuk keperluan operasi di lapangan lainnya.
Hingga Agustus 2021, Maxter mampu mencatatkan optimasi biaya hingga 11 juta dolar AS.
Selain itu, ada program optimasi biaya yang diterapkan di lapangan Pertamina Hulu Mahakam, yakni Low Operations Cost of Mahakam to Achieve Effectiveness and Efficiencies (Locomotive-8) yang merupakan bagian dari proyek Optimus.
Beberapa contoh inisiatif utama yang telah berhasil dilaksanakan melalui proyek Locomotive-8 ini adalah optimasi kegiatan Well Intervention dan optimasi pemanfaatan material eks terminasi.
Program Optimasi Well Intervention Locomotive-8 telah mampu menjaga level produksi minyak dan gas Blok Mahakam sesuai target perusahaan dengan pencapaian biaya operasi yang lebih rendah sehingga mampu menghasilkan optimisasi biaya hingga 5,2 juta dolar As.
OPTIMUS berlangsung sejak Januari 2021, dan dilakukan bertujuan untuk menjaga keberlanjutan operasi, kemampuan berinvestasi serta menciptakan laba di Subholding Upstream Pertamina.
Dengan kondisi organisasi yang baru ini, Subholding Upstream terus melakukan langkah-langkah terobosan agar keberlangsungan bisnis dapat terus berjalan dan bertumbuh menjawab tantangan perubahan zaman.
Lebih lanjut, John menambahkan bahwa hal ini merupakan wujud capaian yang positif dari implementasi Holding - Subholding, di mana korporasi bertransformasi menjadi organisasi yang lebih agile, lean dan efisien dalam menjalankan tugas.
Pertamina sendiri memiliki target nasional sebesar 1 juta BPOD dan 12 MMSCFD hingga tahun 2030, sehingga dengan tata kelola yang baik, diharapkan dapat menjadi “karpet merah” dalam kelancaran visi capaian tersebut.
Baca juga: Kementerian ESDM optimis kinerja usaha migas meningkat tahun depan
Baca juga: Kontraktor migas perlu insentif untuk pacu produksi
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021