Suara tidak didasarkan pada pertimbangan 'baik untuk kepentingan umum, akan tetapi karena preferensi personal
Jakarta (ANTARA News) - Demokrasi di Indonesia semakin memburuk karena adanya jurang pemisah antara warga negara dengan pemerintah dalam memahami hak-hak sosial ekonomi budaya.

"Demokrasi di Indonesia mengalami defisit," ungkap Roichatul Aswidah, Deputi Riset Demos, Lembaga kajian Demokrasi dan Hak Azasi, dalam acara Konferensi Nasional Konsolidasi Gerakan Demokrasi: Mewujudkan Demokrasi Subtansial, Jumat di Jakarta.

Roichatul mengatakan riset Demos pada tahun 2007 menyebutkan bahwa kondisi sosial dan ekonomi di Indonesia mengalami masalah besar.

Demos  mengemukakan temuan mereka  berseberangan dengan statistik pemerintah melalui Bappenas. Mereka melansir indeks demokrasi Indonesia berada pada nilai 64.31 pada tahun 2010. Pemerintah bahkan menargetkan indeks itu naik menjadi 75 pada akhir 2014.

Dia menilai bahwa negara merumuskan kebijakan-kebijakan yang abstrak dan jauh dari persoalan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Salah satu contoh yang dia kemukakan adalah soal kebijakan investasi. Kebijakan tersebut, katanya, bukan diutamakan untuk menghormati, melindungi apalagi memenuhi hak-hak warga di bidang sosial ekonomi, budaya.

Roichatul mencontohkan, investasi disebut-sebut akan mewujudkan hak atas kerja dan kesejahteraan. "Padahal itu  hanyalah  akibat sampingan. Negara lebih mengutamakan kepentinga pemodal, tapi mengabaikan kepentingan rakyat," katanya.

Lebih lanjut Roichatul mengemukakan, negara juga terus menggunakan dan membiarkan kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat yang memperjuangkan hak-haknya.

Menurut dia, kultur dan habit berdemokrasi di Indonesia juga "masih jauh". Problemnya, lanjut Roichatul,  karena orang mendahulukan diri sebagai anggota dari etnis dan agama tertentu, bukan  sebagai warga Indonesia.

"Suara tidak didasarkan pada pertimbangan 'baik untuk kepentingan umum, akan tetapi karena preferensi personal," katanya.
(ENY/A038)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011