Jakarta (ANTARA News) - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyambut baik dan merasa lega dengan terlepasnya Darsem binti Dawud Tawar, TKI asal Subang, Jawa Barat, dari hukuman mati (pancung) akibat terbukti membunuh majikannya pada bulan Desember 2007 lalu.
"Ahli waris korban, yaitu Asim bin Sali Assegaf telah mengeluarkan keputusan pemaafan tersebut pada tanggal 7 Januari 2011," katanya di Jakarta, Kamis.
Keputusan ini tercapai setelah melalui kerja sama yang baik antara pihak KBRI Riyadh, Lajnah Islah (Komisi Jasa Baik untuk Perdamaian dan Pemberian Maaf) Riyadh serta gubernur Riyadh. Pemaafan tersebut disertai pula dengan kewajiban membayar kompensasi (uang diyat) sebesar SAR 2 juta, atau sekitar Rp. 4,7 milyar.
"Kami bersyukur atas perkembangan ini, sekaligus mengapresiasi upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pihak KBRI di sana. Kemenakertrans bersama BNP2TKI telah bertemu dan berkoordinasi untuk menangani kasus ini," ujar Menkertrans.
Kedua lembaga ini sepakat untuk bersama-sama terus memonitor kasus Darsem ini, dan kami siap menyediakan segala bantuan yang diperlukan, teknis maupun yuridis, agar proses pembebasan Darsem dapat terwujud secepat-cepatnya.
Dalam konteks ini BNP2TKI dan Kemenakertrans juga telah berkolaborasi dengan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang diketuai oleh Humprey Djemat.
"Kami meminta agar pengacara-pengacara yang merupakan jaringan AAI (Bar Association) dapat dikerahkan untuk pro aktif melakukan pemantauan terhadap persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh para TKI kita di luar negeri. Diharapkan dengan serangkaian langkah ini, kasus-kasus hukum yang dihadapi oleh para TKI kita dapat ditangani secara cepat dan tuntas. Apalagi Menkumham juga berencana untuk berangkat ke Saudi khusus untuk membicarakan seluruh kasus hukum warga kita di sana. Kami sangat serius dalam upaya ini. Kepala BNP2TKI juga telah saya minta untuk terus melakukan komunikasi intensif dengan pihak AAI", kata Menakertrans menegaskan.
Mengenai uang "diyat" yang harus dibayar, Menakertrans yang sering dipanggil Cak Imin ini juga menyatakan tengah berkoordinasi dengan pihak Kementerian Luar Negeri dan BNP2TKI untuk memecahkan masalah ini.
"Kami optimis persoalan ini akan dapat dituntaskan, dengan kerja sama yang baik antara Kemenakertrans dan BNP2TKI dengan Kementerian Luar Negeri. Percayalah, Pemerintah tidak akan lepas tangan karena ini menyangkut nyawa dan kehidupan TKI kita. Jangka waktu enam bulan yang diberikan untuk pelunasan uang diyat akan kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya", ujarnya.
Di samping itu, Cak Imin juga mengingatkan para TKI di negara manapun agar sedapat mungkin menghindari tindakan-tindakan yang dapat menempatkan dirinya dalam posisi melanggar hukum. Para TKI agar selalu hati-hati dan menjauhi situasi yang membuka peluang dirinya bertindak melanggar hukum. Meskipun demikian, hal itu juga sedikit banyak bergantung pada bagaimana para majikan memerlakukan TKI-nya.
"Dalam rangka perlindungan kepada TKI, kami telah memerketat seleksi terhadap calon majikan. Calon majikan akan kami periksa penghasilannya. Penghasilan majikan kurang lebih harus 10 ribu real (Rp24 juta) per bulan, agar tidak ada alasan gaji TKI-nya tidak dibayar. Peta rumah majikan harus dilampirkan, sehingga lokasi dan keberadaan para TKI kita dapat tergambar jelas. Jumlah keluarga yang ada di rumah juga harus dicantumkan. Calon majikan juga kami wajibkan untuk datang ke konsulat dan melakukan wawancara dengan Atase Naker kami di sana. Kami yakin pengetatan ini akan mampu, langsung atau tidak langsung, melindungi TKI dari situasi-situasi yang melanggar hukum," katanya.
Perjanjian Kerja antara si calon majikan dan TKI baru bisa diteken oleh Konsulat Jenderal di Saudi apabila majikan telah lulus seleksi. "Pokoknya kita bersama BNP2TKI all-out untuk perlindungan," demikian Cak Imin.(*)
(R009/K004)
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011