"Saya sedang membujuk Presiden agar membuat inpres untuk budi daya rumput laut."

Palu (ANTARA News) - Rumput laut diproyeksikan menjadi salah satu komoditi utama penggerak pertumbuhan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat Sulawesi Tengah dalam kurun waktu empat tahun ke depan.

Setelah mencanangkan diri sebagai provinsi rumput laut dengan catatan produksi 790.000 ton basah atau 100.000 ton kering pada 2010, daerah ini terobsesi untuk meningkatkan produksi menjadi 1,9 juta ton basah atau sekitar 500.000 ton kering pada 2014.

Dengan tingkat harga rata-rata Rp9.000,00/kilogram, itu berarti rumput laut akan menghasilkan uang bagi nelayan pembudidaya sekitar Rp4,5 triliun. Kalau produk itu dijual dalam bentuk bahan setengah jadi atau bahan jadi, nilainya tentu akan berlipat ganda sehingga efek ekonominya juga akan semakin luas.

Itu sebabnya, Bank Indonesia (BI) Palu terpanggil untuk "turun gunung" memberikan bantuan secara langsung kepada pelaku usaha rumput laut, baik kelompok nelayan pembudidaya maupun usaha kecil dan menengah serta usaha rumah tangga yang menggeluti bisnis hasil laut ini.

Di depan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad di Bungku, Jumat (25/2), Pemimpin Bank Indonesia Palu Rachmat Hernowo dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Hasanuddin Atjo menandatangani nota kesepahaman (MoU) tentang pengembangan klaster rumput laut di Sulawesi Tengah.

Rachmat mengemukakan, setelah MoU tersebut, Bank Indonesia Palu melalui kelompok pemberdayaan sektor riil dan UMKM (KPSRU) akan melakukan identifikasi klaster dalam rangka pemberian bantuan teknis kepada nelayan rumput laut serta industri rumah tangga sehingga mempunyai nilai tambah.

Ada tiga klaster pengembangan yakni klaster I Selat Makassar dan Laut Sulawesi, klaster II Teluk Tomini, dan Klaster II Teluk Tolo.

Lokasi yang akan dijadikan sasaran identifikasi untuk membantu kepentingan nelayan budidaya adalah Kabupaten Parigi Moutong yang masuk dalam klaster II Teluk Tomini serta Kabupaten Morowali dan Bangkep di klaster III Teluk Tolo.

Kedua klaster ini dipilih karena menyumbang 93 persen dari total produksi rumput laut Sulteng yang tahun 2010 tercatat mencapai 790.000 ton.

Industri rumah tangga untuk pengolahan produk rumput laut akan difokuskan di Kota Palu yang termasuk dalam klaster I Selat Makassar dan Laut Sulawesi. Pengembangan hal ini, antara lain berupa dodol, jeli dan minuman yang dipusatkan di Kota Palu karena para perajin di daerah tersebut telah mendapat pembinaan dari dinas terkait. serta pernah mendapat bantuan peralatan dan lebih mendekatkan pada pasar.

Bantuan teknis yang akan diberikan antara lain studi banding ke daerah yang sudah mengelola rumput laut secara baik dan benar sehingga menghasilkan kualitas produk yang memenuhi standar untuk dijadikan barang jadi atau setengah jadi, seperti bubuk coklat, bubuk (powder), dodol, dan jeli.

Bank Indonesia dengan memanfaatkan dana tanggung jawab sosial kemasyarakatan (coorporate social responsibility/CSR) akan membantu pelatihan nelayan untuk meningkatkan kapasitas budidaya serta menggelar pameran guna memperkenalkan jenis-jenis rumput laut yang bisa dibudidayakan serta produk-produk yang sudah dihasilkan dari rumput laut.

Bank sentral ini juga berjanji membantu penyediaan informasi seperti brosur atau laman untuk memberikan informasi kepada investor dalam maupun luar negeri tentang potensi lahan, jumlah produksi, serta jenis-jenis rumput laut yang bisa dikembangkan di daerah ini.

"Mohon dipahami bahwa Bank Indonesia tidak menyediakan dana segar untuk disalurkan. Dukungan kami dalam kerja sama ini lebih pada bantuan teknis. Kalau kualitas produknya bagus, pasarnya berkembang dan industrinya tumbuh, maka bank-bank pasti tertarik untuk turun memberikan bantuan dana (kredit)," ujarnya.

Rahmat menjelaskan, hasil yang ingin dicapai Bank Indonesia dalam kerja sama pengembangan klaster rumput laut ini adalah meningkatnya volume produksi dan kualitasnya, membaiknya harga jual, ada nilai tambah yang signifikan terhadap pembudidaya rumput laut dan terbentuknya industr rumah tangga rumput laut, koperasi dan sentra-sentra baru rumput laut dan dapat direplikasi ke daerah lain.

Potensi besar

Sulawesi Tengah merupakan salah satu dari tiga produsen terbesar rumput laut di Indonesia bersama Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Tiga tahun lalu, kata Gubernur Sulteng, HB Paliudju, produksi rumput laut jenis cottoni dan glacilaria di daerah ini masih berada di bawah Sulsel dan NTT, namun tahun 2010, produksinya telah menyamai Sulawesi Selatan pada angka 790.000 ton dan merupakan yang terbesar di Indonesia saat ini.

Secara nasional produksi rumput laut tahun 2010 mencapai 3,082 juta ton, sementara untuk produksi Sulawesi Tengah tercatat 790.000 ton basah (setara dengan 100.000 ton kering) atau 25 persen dari produksi nasional.

"Produksi tersebut masih bisa dilipatgandakan, bahkan tahun ini (2011) Sulteng bisa menyumbang satu juta ton kalau penanganannya simultan dan intensif," kata Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad.

Alasannya, potensi yang dimiliki masih sangat besar. Dari 106.000 hektare potensi budidaya baru sekitar sembilan persen yang dimanfaatkan. Produktivitasnya juga masih rendah, dan dengan sentuhan teknologi yang tepat, produktvitas bisa dinaikkan seiring dengan upaya ekstensifikasi.

"Kita menargetkan mampu memberi kontribusi paling sedikit 20 persen pada produksi nasional yang ditargetkan mencapai 10 juta ton pada 2014," kata Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Kadis KP) Sulteng, Hasanuddin Atjo.

Namun, ia menilai, kendalanya cukup banyak, antara lain pola pikir petani masih perlu diubah agar mau menjadikan rumput laut sebagai komoditi unggulan, bukan komoditi sampingan yang dikerjakan diwaktu senggang.

"Karena itu, kita akan terus berupaya memfasilitasi petani dalam berbagai bidang mulai pembinaan menejemen, teknologi budidaya, penyediaan bibit, kelembagaan, penyediaan sarana dan prasarana serta industri pengolahan agar bisnis ini semakin menarik bagi mereka," ujarnya.

Ia juga mengakui bahwa keterlibatan investor, terutama dalam membangun pabrik pengolahan masih sangat minim karena berbagai keterbatasan seperti listrik dari PLN.

Fadel Muhammad saat berkunjung ke Sulteng akhir pekan terus mendorong pemerintah dan masyarakat daerah ini untuk mengembangkan rumput laut karena hasil penelitian bank dunia menyebutkan bahwa rumput laut paling baik berada di Sulawesi.

"Jika potensi di Sulteng ini dimanfaatkan akan sangat menguntungkan masyarakat khususnya nelayan pesisir. Kita rugi jika tidak memanfaatkan potensi ini," katanya.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, katanya, sedang menyiapkan 60 klaster rumput laut untuk merealisasikan target produksi sebesar 10 juta ton pada 2014 dan terus berusaha meningkatkan nilai tumbah rumput laut dengan melakukan pengolahan menjadi beberapa turunan sebelum dilepas ke pasar.

Fadel juga mengemukakan bahwa pihaknya sedang menyiapkan konsep instruksi presiden (inpres) yang akan diajukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan budi daya rumput laut di Indonesia, sehingga anggarannya lebih meningkat.

"Saya sedang membujuk Presiden agar membuat inpres untuk budi daya rumput laut. Saya yakin kalau ada inpresnya maka anggarannya akan lebih besar," kata Fadel.

Ia pun menyebutkan bahwa saat ini kementerian yang dipimpinya hanya memiliki anggaran Rp1 triliun yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.
(T.R007*BK03)

Oleh Rolex Malaha
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011