Jakarta (ANTARA News) - Laksamana Patrick M.Walsh, Komandan ArmadaPasifik AS, belum lama berselang bertamu ke Indonesia untuk membukapeluang kolaborasi dengan mitra-mitra domestik dalam rangka memperkuatkemitraan yang telah terjalin.

Pada tataran yang lebih tinggi, kedatangannya merupakan upayapenjajakan terhadap kemungkinan kerja sama dalam berbagai pelatihanpada masa depan (SINDO, 17/1).

Di lain pihak, seperti diungkapkan oleh Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, AS telah membantu Indonesia dalam proyek integrated maritime surveillance system untuk Selat Malaka dan Laut Sulawesi (Kompas, 22/1).

Selain komitmen untuk meningkatkan kerja sama di bidang pelatihan tadi,tidak terungkap dari pemimpin yang mengendalikan kurang-lebih 95 kapaltempur, 56 kapal pendukung, 41 kapal selam, 1.987 pesawat tempur,106.000 pelaut serta 19.000 pekerja sipil itu nasib berbagai kebijakan maritime security AS yang juga telah ditawarkan kepada Indonesia sebelumnya.

Pertanyaannya kini, apa saja kebijakan maritime security negeri Paman Sam yang telah ditawarkan kepada Indonesia itu? Dan, bagaimana sikap kita terhadap tawaran mereka?

Kebijakan maritime security AS
Ada berbagai kebijakan maritime securityyang ditawarkan ke Indonesia oleh AS. Tawaran itu sebetulnya tidakkhusus ditujukan kepada kita, melainkan ditujukan kepada banyak pihak.

Maritime security secara umum dimaknai sebagai perpaduan (convergence) antara maritime safety atau keselamatan maritim dan maritime security itu sendiri.

Mengutip Barry Desker, dekan S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura, Maritime safety adalah measureemployed by owners, operators and administrators of vessels, portfacilities, offshore installations, and other marine organizations orestablishments to prevent or minimize the occurence of mishap orincident at the sea that may be caused by sub-standard ships,unqualified crew or operator error.

Sementara, maritime security merupakan measureemployed by owners, operators and administrators of vessels, portfacilities, offshore installations, and other marine organizations orestablishments to protect against seizure, sabotage, piracy, pilferage,annoyance or surprise.

Kebijakan yang pertama, container security initiative(CSI) yang diluncurkan pada 2002 oleh Biro Bea Cukai dan Perbatasan(CBP). Obyek kebijakan ini adalah seluruh peti kemas yang masuk ke AS.CSI diadopsi karena, menurut sistem berpikir pihak keamanan AS,organisasi teroris makin hari makin bersemangat menghancurkaninfrastruktur ekonomi negara sasaran dalam upaya mencapai targetpolitis mereka.

Ini bisa jadi peti kemas yang masuk ke AS bukan berisi garmen, furnituratau komoditas lainnya, tetapi bom, kuman penyakit atau berbagai bahanberbahaya lainnya. Saat ini sekitar 90 persen perdagangan duniadikapalkan dalam peti kemas. Setengahnya, atau kurang-lebih 7 juta unitdibongkar di berbagai pelabuhan di AS setiap tahunnya. CSI memastikanbukan benda-benda terakhir yang masuk ke daratan AS.

Pemeriksaan terhadap peti kemas yang akan diekspor ke AS dilakukan dipelabuhan muat (port of origin) oleh tim dari CBP, dan tentu sajamelibatkan tandem-nya, yakni Penjaga Pantai AS atau USCG, bekerjasamadengan instansi setempat.

Pemeriksaan mencakup penggunaan sumberdaya intelijen, teknologiinformasi, detektor sinar gamma. Dan, terakhir, pemanfaatan peti kemasyang memiliki kepekaan terhadap berbagai upaya modifikasi. Kini 47pelabuhan ikut dalam program ini.

Pada Juni 2002, Organisasi Pabean Internasional atau World CustomsOrganization secara aklamasi mengesahkan sebuah resolusi yang dapatdijadikan dasar hukum bagi 161 anggotanya untuk penerapan sistempemeriksaan peti kemas yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masingnegara selain yang diterapkan dalam CSI.

Kebijakan kedua, proliferation security initiative (PSI). Kebijakan ini berkenaan dengan kewenangan negara pihak-ketiga untuk melakukan pencegatan atau interdiction terhadap kapal berkebangsaan tertentu di laut lepas yang dicurigai membawa senjata atau bahan nuklir.

PSI dikembangkan oleh John R. Bolton, mantan Wakil Menteri PertahananAS bidang Pengendalian Senjata dan Keamanan Internasional dan DutaBesar untuk PBB. Ia mengusulkan kebijakan ini menyusul ditemukannya 15rudal Scud di dalam kapal barang Korea Utara yang tengah berada diperairan internasional dan karenanya tidak bisa ditangkap. Secara resmiPSI diumumkan oleh Presiden George W. Bush pada 31 Mei 2003 diKrakow, Polandia.

Saat ini PSI telah diikuti oleh lebih 90 negara, mencakup, antara lain,Rusia, Kanada, Inggris, Australia, Prancis, Jerman, Italia, Portugal,Spanyol, Japan, Belanda, Polandia, dan Norwegia. Semantara itu,sembilan negara (Bahama, Belize, Kroatia, Siprus, Liberia, Malta,Kepulauan Marshall, Mongolia dan Panama) telah menandatanganiperjanjian bilateral Mutual Shipboarding Pacts dengan AS. Denganpenandatanganan itu, USCG diperbolehkan menaiki kapal yang mengibarkanbendera negara tersebut.

Kebijakan ketiga, global maritime partnership initiative(GMP). Kebijakan ini merupakan buah pikiran Laksamana Michael Mullen,mantan Chief of Naval Operation/Kepala Staf AL AS. Di kalangankemaritiman internasional kebijakan ini disebut juga dengan ”ALberkekuatan 1.000 kapal” atau 1.000-ship Navy. Ada juga yangmenyebutnya dengan global maritime network.

Secara umum GMP merupakan sebuah forum kerja sama antara lembaga maritime security (angkatan laut, coast guardatau lainnya) di dunia yang diarahkan untuk menciptakan sebuah tatananmaritim yang bebas dari perompakan, senjata nuklir dan berbagai ancamanlainnya yang menjadikan laut sebagai mediumnya.

Kerja sama ini diwujudkan dalam bentuk pertukaran informasi, intelijendan sebagainya. Tentu, sebagai pengusung program, AS bertindak sebagaipemimpinnya.

Ketika pertama digagas, Australia langsung menyatakan dukungannya.Sayangnya, tidak diketahui sudah berapa negara yang mengikuti langkahnegeri kanguru itu karena komunitas maritim internasional hingga kinimasih memperdebatkan inisiatif ini.

Kebijakan maritime security AS keempat adalah regional maritime security initiativeatau RMSI. Kebijakan ini sejatinya merupakan bagian dari prosestransformasi pertahanan AS dan strategi baru pangkalan AL AS. Kebijakanini dijalankan dengan membangun kerja sama antara AL AS dengan mitraatau aliansinya melalui pelatihan, penggunaan teknologi informasi dantukar-menukar informasi (biasanya informasi intelijen).

Sikap Indonesia
Sikap Indonesia terhadap berbagai kebijakan maritime securityAS yang ada cenderung beragam. Maksudnya, pada kebijakan tertentumenolak sementara kebijakan yang lain mendukung. Misalnya, Indonesiatidak terlibat alias menolak kebijakan PSI, sama seperti sikap yangdiambil oleh Cina, Malaysia dan Iran.

Dalam hal CSI, jika kita berkunjung ke Pelabuhan Tanjung Priok,Jakarta, kita dapat melihat fasilitas detektor terpasang di sana. Hanyasaja, hingga saat ini pelabuhan itu tetap saja masuk dalam daftarkawasan perang (war risk zone) yang dikeluarkan oleh Joint WarCommittee/JWC, sebuah kumpulan asuransi kapal yang berbasis di London,Inggris.

Yang cukup aneh, Pelabuhan Tanjung Priok, juga pelabuhan besar lainnyadi Tanah Air, telah menerapkan International Ship and Port FacilitySecurity (ISPS) Code, kebijakan maritime securityAS yang lain dan telah diadopsi oleh Organisasi Maritim Internasionalatau IMO, namun hingga kini USCG masih memasukkan Tanjung Priok dalamkawasan rawan. Kerusuhan Koja makin memperparah penilaian ini.

Terkait dengan GMP, Indonesia dapat dipastikan tidak terlibat didalamnya karena keterbatasan armada, baik milik TNI-AL maupun instansipenegakan hukum di laut lainnya. Sementara, Indonesia menolak proposalRMSI yang diajukan oleh AS dengan alasan kedaulatan negara.

Tapi, jangan lupa, berbagai program pelatihan yang dinikmati olehTNI-AL serta berbagai perangkat teknologi informasi yang disediakansesungguhnya merupakan bagian dari kebijakan RMSI. Kalau begini, siapayang pintar?
(***)


*) Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011