Jakarta (ANTARA) - Pemerintah memperkenalkan Strategi Jangka Benah (SJB) sebagai salah satu skema penyelesaian dan penataan kebun sawit di kawasan hutan, yang dinilai bisa mengatasi persoalan tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan.

Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Erna Rosdiana, dalam rilis di Jakarta, Rabu, menyatakan kebijakan Jangka Benah yang ditetapkan dalam perhutanan sosial khususnya, merupakan proses untuk kepentingan ekonomi yang saat ini menjadi kepentingan masyarakat.

Menurut dia, semua diharapkan bisa terlindungi dengan Jangka Benah, kurang lebih 15 sampai 25 tahun.

"Praktik di lapangan tentu saja saat ini belum teridentifikasi dengan baik. Namun, di beberapa tempat, seperti di Kalimantan Tengah, yang difasilitasi oleh teman-teman dari Kehati dan UGM, sudah melakukan uji coba ya di sana, bagaimana Jangka Benah itu bisa dilaksanakan oleh masyarakat. Saya kira dengan pengalaman uji coba ini maka kita bisa diimplementasikan nanti di tempat-tempat yang lain," kata dia.

Ia pun menekankan kolaborasi lintas sektor, baik kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, karena kolaborasi dinilai menjadi kunci Jangka Benah dapat diterapkan di berbagai kawasan hutan Indonesia.

Peneliti Tim Strategi Jangka Benah Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Ari Susanti menjelaskan Jangka Benah merupakan periode untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekosistem hutan yang terganggu atau rusak, akibat ekspansi kebun kelapa sawit monokultur terhadap kawasan hutan.

Menurut dia, SJB dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mengubah kebun kelapa sawit monokultur menjadi kebun campur sawit dalam bentuk agroforestri, seperti penambahan spesies tanaman berkayu pada kebun kelapa sawit monokultur.

Baca juga: 3,3 juta hektare kebun kelapa sawit terindikasi ada di kawasan hutan

Kemudian tahap kedua adalah bertujuan untuk meningkatkan struktur dan fungsi ekosistem agroforestri kelapa sawit, sehingga struktur dan fungsinya dapat menyerupai hutan alami.

"Di Bukit Bamba itu mereka sudah menerapkan berbagai macam model-model kebun sawit campur. Misalnya, sawit dicampur dengan dengan jengkol, pete, sungkai, jelutung. Di Kalimantan Tengah, sawit dicampur dengan sayur mayur. seperti sawi yang mudah untuk tumbuh," kata dia.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) Sri Suwanto menyampaikan pihaknya menyambut baik inisiatif tersebut, mengingat Kalteng dikategorikan memiliki luas tutupan sawit cukup besar mencapai 1,7 juta hektare. Namun baru 1,3 juta hektare perkebunan besar swasta yang telah memiliki izin dan dari jumlah tersebut hanya 600 ribu hektare masuk kawasan hutan.

Ia berharap SJB ke depan tidak lagi menempel pada perizinan lain dan dapat dibuatkan peta indikatif. Selain itu, kata dia, SJB juga agar terus disosialisasi, hingga bisa memberikan kontribusi, kesejahteraan, serta penghasilan lebih besar daripada sistem monokultur.

"Masyarakat itu sederhana, nggak perlu ganti-ganti sistem. Yang penting apa yang masyarakat tanam itu ada optekernya atau pasarnya langsung masuk. Kalau tidur tapi sambil nanam sawit, orang yang beli datang. Kalau sengon, kita harus menawarkan. Ini adalah substansi dari semua sistem itu agar kita bisa sejahterakan masyarakat," katanya.

Baca juga: Tata batas kawasan hutan tak tuntas, sawit jadi sasaran kampanye hitam

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2021