Mereka sudah tidak terlalu hirau berkaitan dengan struktur berita yang baik
Purwokerto (ANTARA) - Akademisi Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Kabupaten Blanyumas, Jawa Tengah, Eko Sri Israhayu mengharapkan media massa dapat menjadi sarana edukasi dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Saat dihubungi di Purwokerto, Selasa, pengajar Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMP itu menilai media massa daring terutama yang sebelumnya berbasis pada media cetak cukup tertib dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
"Saya masih bisa melihatnya itu sebagai satu bentuk upaya menjaga bagaimana menjaga bahasa Indonesia karena berita itu juga termasuk sebagai penggunaan bahasa Indonesia ilmiah, seperti bahasa Indonesia yang baik dan benar," katanya.
Menurut dia, hal itu tidak lepas dari redaktur pelaksana yang selama ini tetap menjaga penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar seperti halnya dalam pemberitaan media cetak.
Sementara dalam media daring yang baru bermunculan, kata dia, banyak yang tidak menghiraukan struktur berita yang baik dan lebih menonjolkan sensasinya lebih dahulu.
Bahkan, lanjut dia, hal itu juga dijumpai pada salah satu media daring yang sebenarnya juga berasal dari sebuah media massa cetak.
"Mereka sudah tidak terlalu hirau berkaitan dengan struktur berita yang baik, istilahnya yang penting sensasi dulu, kadang-kadang dicari intinya di mana, nanti diulangi lagi, diulangi lagi, seperti itu. Menurut saya, itu tidak efektif, padahal sebetulnya yang selama ini kita pegang, kaitannya dengan bahasa jurnalistik sebagai suatu media penyampaian berita tentu saja digunakan bahasa yang efektif," kata dosen yang akrab disapa Yayu itu.
Menurut dia, penggunaan bahasa yang tidak efektif itu banyak dijumpai dalam media-media daring yang belum mendapatkan tempat di hati masyarakat.
Lebih lanjut, dia mengakui hingga saat ini masih banyak dijumpai pejabat yang belum menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar karena saat sekarang begitu terbuka dalam kaitannya dengan komunikasi dan berbahasa, sehingga dari apa yang terucapkan dimasukkan begitu saja dalam bahasa tulis.
"Padahal, tentu saja berbeda, antara bahasa tulis dan bahasa lisan. Mestinya ketika wartawan memasukkan itu menjadi suatu berita, tentu saja pembahasannya berbeda, kecuali itu merupakan kalimat langsung yang merupakan semacam inti atau kalimat kunci yang memang dijadikan andalan pemberitaan, barangkali memang berbeda, enggak apa-apa," katanya.
Kendati demikian, dia mengatakan pengolahan bahasa setelah melalui tangan redaktur akan berbeda dengan berita yang dibuat wartawan.
Yayu mengakui kadang-kadang orang menganggap gampang terhadap penggunaan bahasa Indonesia dan cenderung menyepelekan.
Baca juga: Pola pemberitaan ala cerita detektif
Baca juga: Kemendikbud susun buku Bahasa Indonesia laras jurnalistik
"Sebetulnya tidak demikian. Bahkan sampai saat ini pun kadang-kadang sampai tingkat pendidikan lebih tinggi, menuliskan 'di' yang dirangkai (sebagai awalan, red.) dan 'di' yang dipisah (sebagai kata penghubung, red.) suka bingung. Jadi, saya kira mesti ditumbuhkan sebagai orang Indonesia, bagaimana kita punya gerakan supaya cinta bahasa dan sastra Indonesia," katanya.
Apalagi saat sekarang, kata dia, bahasa Indonesia juga diajarkan di banyak negara seperti Rusia dan Australia. Oleh karena itu ketika mengajar mahasiswa reguler, pihaknya memutarkan video tentang orang-orang di luar negeri yang belajar bahasa Indonesia.
Menurut dia, hal itu dilakukan agar jangan sampai bangsa Indonesia belajar bahasa negaranya sendiri justru dari orang Rusia atau Australia.
Selain itu, dia mengharapkan media massa juga bisa memberikan edukasi dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Ia mengharapkan momentum Sumpah Pemuda yang diperingati setiap tanggal 28 Oktober dapat menumbuhkan rasa cinta dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar bagi semua kalangan.
Baca juga: Balai Bahasa susun kamus pemelajar bahasa Bali
Baca juga: Kemendikbud susun buku Bahasa Indonesia laras jurnalistik
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021