Jakarta (ANTARA) - Ekowisata yang sedang naik daun belum sepenuhnya dipahami oleh semua orang. Project Coordinator Hutan Itu Indonesia, Diyah Deviyanti, menceritakan pengalamannya, ketika traveling ke destinasi ekowisata Tangkahan, yang tercakup dalam Taman Nasional Gunung Leuser.

Dia benar-benar merasakan kedamaian di tengah hutan yang keasliannya masih sangat dijaga, menyusuri jalan setapak kecil, sesekali terkena ranting pohon yang menjuntai. Ia menikmati air terjun yang airnya memang benar-benar jatuh secara alami, yang sekitarnya masih natural, tidak dengan sengaja ditambahkan tempat untuk berfoto.

“Begitulah gambaran destinasi ekowisata yang sesungguhnya. Pengelola tidak mengubah fungsi hutan sebagai sumber oksigen dan sumber kehidupan masyarakat sekitar. Tidak ada pembangunan fasilitas yang mengubah atau merusak ekosistem," kata Diyah, dikutip dari siaran resmi, Selasa.

"Tak perlu takut, tempat seperti ini sangat aman, karena kita ditemani pemandu. Apalagi, sebelum perjalanan kita diberi informasi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,” kata Diyah.

Diyah menuturkan salah kaprah tentang ekowisata yang patut Anda ketahui:

Baca juga: Halfeti, kota yang sempat tenggelam dan kembali ke permukaan

Baca juga: Rute panduan untuk liburan sambil bersepeda di Singapura

Wisata alam pasti ekowisata

Banyak yang mungkin berpikir, jalan-jalan ke taman, kebun raya, air terjun, hutan, apalagi taman nasional, sudah pasti berkonsep ekowisata. Diyah menjelaskan, memang betul bahwa ekowisata itu berwisata ke alam terbuka.

“Tapi, ekowisata menyimpan pesan bahwa wisatawan juga ingin mendapat pengetahuan tentang alam, tentang budaya, juga tentang masyarakat lokalnya. Satu hal yang pasti, kegiatan kita sebagai wisatawan, maupun kegiatan yang dilakukan oleh pengelola tempat wisata, tidak merusak alam. Sekalipun hutan atau taman nasional, jika pengelolaannya mengganggu ekosistem, tempat itu tak bisa disebut destinasi ekowisata.”

Ada hal mendasar yang membedakan destinasi ekowisata dan tempat wisata secara umum, yaitu fasilitas pendukung. Di tempat wisata umum, meski menampilkan keindahan alam, biasanya terdapat bermacam fasilitas untuk mendukung kenyamanan pengunjung. Misalnya, toilet dan tempat makan. Diyah menyoroti, ketika membangun fasilitas tersebut, terkadang pengelolanya lupa memperhatikan ekosistem.

“Di destinasi ekowisata, Anda tidak akan menemukan fasilitas pendukung. Karena, tujuan ekowisata adalah melindungi kealamian suatu lingkungan, sekaligus menyejahterakan masyarakat sekitar. Kita bisa membantu kesejahteraan mereka dengan membeli produk buatan mereka, misalnya madu hutan, atau menggunakan jasa penduduk lokal sebagai pemandu,” kata Diyah.

Ekowisata itu murah

Ada anggapan bahwa berwisata ke alam artinya tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk menginap di hotel dengan fasilitas bagus atau untuk makan di restoran. Jadi, sudah pasti biayanya akan lebih murah daripada jalan-jalan ke kota.

Rupanya anggapan ini tak benar. Ekowisata justru cenderung memakan banyak biaya. Diyah mencontohkan, kalau suatu tempat wisata dibuka secara besar-besaran, tiket masuknya akan lebih murah. Sedangkan pada destinasi ekowisata yang jumlah pengunjungnya dibatasi, biayanya akan lebih tinggi.

“Pembatasan pengunjung penting dilakukan agar alam tidak rusak. Dampaknya, pemasukan pengelolanya juga terpengaruh. Dana ini bukan hanya untuk pengelola, melainkan disebar untuk berbagai aspek. Sebagian besar untuk pemeliharaan tempat, sebagian juga untuk kas pemberdayaan masyarakat.”

Pertanyaannya, kalau alamnya dibiarkan alami dan tempat itu tak punya fasilitas yang perlu dirawat, mengapa perlu banyak dana untuk pemeliharaan? Diyah menjelaskan, justru karena tempat itu merupakan tempat alami, banyak orang bisa asal saja mengambil sesuatu dari hutan. Misalnya, mengambil kayu. Agar hal seperti itu tidak terjadi, perlu ada penjaga hutan atau ranger.

Ada pula yang bertugas untuk membersihkan jalur jalan, misalnya ketika ada pohon yang tumbang karena angin. Mereka akan memotong batang pohon, sehingga jalanan bisa dilewati oleh warga.

Diyah menjamin, meski terbilang cukup mahal, pengalaman pergi ke area berkonsep ekowisata pasti akan sepadan dengan biayanya.

Baca juga: Lima alasan "Work From Bali" asyik untuk bekerja secara daring

Baca juga: Gubernur minta Singapura buka akses warganya masuk ke Kepri

Kegiatan di lokasi ekowisata tak beda dari tempat wisata umum

Kalau sama-sama ke hutan, meski yang satu menerapkan konsep ekowisata dan satunya lagi tidak, artinya kegiatan yang bisa dilakukan akan sama saja. Tidak demikian, kata Diyah. Di lokasi wisata berkonsep ekowisata, Anda juga bisa melakukan banyak kegiatan yang menyenangkan.

Diyah bercerita, ketika pergi ke Tangkahan, ia menemukan hutan yang masih sangat alami. Tidak dibuat apa-apa di dalamnya. Ada jalan setapak tanah yang kecil, tanpa dilapisi bebatuan. Di tengah hutan ia bertemu babi dan monyet. Di ujung hutan terdapat sebuah sungai.

“Kami kembali lagi ke perkampungan dengan duduk di ban, bukan speedboat. Jadi, tidak ada kegiatan yang merusak alam.”

Bagi pengunjung, tersedia rumah-rumah ramah lingkungan yang dilengkapi toilet. Pengunjung bisa memilih akan menginap di bangunan yang sudah disediakan warga, atau homestay di rumah warga.

“Menginap di hutan juga bisa. Ada area yang bisa digunakan untuk membangun tenda, tanpa membuka lahan. Di area sungai sering kali ada area bebatuan yang bisa dijadikan lokasi kemping. Atau, ada sejumlah area lapang di bawah pepohonan,” kata Diyah.

Eco-friendly traveling sama dengan ecotourism

Karena sama-sama ada kata "eco", dan sama-sama mengandung unsur wisata, maka tak sedikit yang menyangka bahwa eco-friendly traveling sama dengan ecotourism. Sebenarnya tidak sama. Eco-friendly traveling lebih pada rasa kepedulian atau tanggung jawab sebagai traveler terhadap lingkungan.

Namun, Diyah melihat ada benang merah di antara keduanya, yaitu sama-sama peduli terhadap alam. Hanya, caranya saja yang berbeda. Ia mencontohkan perilaku eco-friendly traveling.

Ketika kita pergi dengan pesawat, artinya ada jejak karbon yang cukup besar. Maksudnya, ada karbondioksida dari pesawat yang dihasilkan dan berpotensi menyebabkan polusi. Jika Anda paham soal eco-friendly traveling, kita punya tanggung jawab untuk "mengganti" pelepasan karbon tersebut. Salah satu caranya adalah mengadopsi pohon yang sudah cukup besar dan telah menghasilkan banyak oksigen.

Diyah juga menegaskan bahwa perilaku melancong ramah lingkungan wajib diterapkan saat berada di lokasi ekowisata.

“Jangan sampai lokasi yang sudah benar-benar dijaga malah dikotori oleh sampah. Jangan pula mengukir-ukir dan menulis sembarangan. Memang di destinasi ekowisata banyak sekali hal-hal yang sangat bagus. Saking bagusnya, tak sedikit yang tergoda untuk mengukir nama. Percuma datang ke destinasi ekowisata, kalau ujung-ujungnya merusak juga. Harusnya kedatangan kita membuat tempat itu tetap bagus dan lestari.”

Baca juga: Menyusun kepingan sejarah di Museum Mosaik Zeugma dan Sanliurfa

Baca juga: Pandemi dorong perubahan ke arah pariwisata berkualitas

Baca juga: Traveloka EPIC Sale catat kenaikan pemesanan lebih dari 1,5 kali lipat

Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021