"Polisi jangan hanya menyeret pelaku-pelaku lapangan saja, tetapi juga harus mengungkap otak dibalik penyerangan tersebut," kata Nurkholis saat jumpa pers di LBH Jakarta, Selasa.
Menurut Nurkholis yang juga sebagai Direktur LBH Jakarta, kondisi itu terjadi ketika polisi hanya berhenti melakukan pengusutan kepada orang yang merupakan pelaku lapangan dan operator penyerangan, namun gagal mengembangkan penyidikan untuk mengungkap dalang, pemberi dana, dan pembuat skenario dibalik sang operator penyerangan.
Berdasarkan temuan dan pemantauannya selama ini, polisi hendaknya tidak berhenti melakukan penyelidikan hanya sebatas tersangka Uj yang disebut polisi sebagai otak penyerangan karena masih ada aktor yang lebih kuat dan memiliki sumber daya yang menompang dan mensponsori penyerangan Cikeusik.
Selain itu, impunitas juga terjadi di level pejabat kepolisian setempat yang bertanggungjawab atas kelalaian mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
"Pencopotan pejabat kepolisian dan persidangkan etik bagi beberapa anggota kepolisian tidak menghilangkan pertanggungjawaban pidana atas kelalaian tersebut," ujarnya.
Nurkholis juga menuding aparat kepolisian telah melakukan viktiminasi jemaah Ahmadiyah yang menjadi korban dalam penyerangan di Cikeusik, Pandeglang, Banten.
"Polisi justru berupaya menjadikan pihak korban penyerangan sebagai tersangka. Hingga kini, sebagian besar saksi-saksi dari jemaah Ahmadiyah yang diperiksa oleh polisi digiring yang justru akan menjerat Deden sebagai tersangka penghasutan," katanya.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak kepolisian untuk bekerja profesional, independen dan fair dengan menghentikan upaya viktiminasi ini.
Pencopotan jabatan terhadap beberapa anggota kepolisian dinilai tidak cukup atas sanksi pembiaran kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten karena aksi pembiaran menyebabkan kematian, harus ada proses pidana yang diterapkan pada polisi tersebut, kata kuasa hukum Ahmadiyah yang juga Koordinator Kontras, Haris Azhar.
(S037)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011
Keberadaan ahmadiyah yg justru menjadi sumber konflik masyarakat.