Jakarta (ANTARA) - Kepolisian Republik Indonesia beberapa waktu terakhir telah mengungkap sebanyak 13 kasus pinjaman online atau dalam jaringan (daring) ilegal di seluruh wilayah Indonesia.

Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Pol Agus Andrianto pada 21 Oktober lalu menyebutkan pengungkapan kasus saat ini ditangani oleh Bareskrim, lalu dari Polda Metro Jaya, Polda Jawa Barat, Polda Kalimantan Barat, dan Polda Jawa Tengah

Kepolisian pun sampai saat ini masih terus mendalami dan mengembangkan kasus tersebut, bahkan analisis juga dilakukan di seluruh wilayah Indonesia.

Tidak hanya sampai di situ, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo juga mengeluarkan surat telegram yang disebarkan kepada jajaran polda di Indonesia terkait penanganan pinjaman online ilegal tersebut sebagai respon cepat terkait keluhan masyarakat.

Gerak cepat dari kepolisian dalam mengungkap pinjol ilegal ini menjadi kabar baik bagi masyarakat yang terjerat pinjaman online dan terus diburu bahkan dengan intimidasi pengancaman oleh penagih dari usaha peer to peer lending ilegal yang mencekik masyarakat peminjam itu.

Apa yang telah di lakukan kepolisian tentunya memberikan efek kejut pada oknum yang memiliki usaha pinjaman online ilegal seperti itu.

Efek kejut mungkin bisa dirasakan beberapa saat sehingga para pelaku bisnis fintech teknologi keuangan, yakni P2P lending ilegal itu berhenti dari bisnis mereka atau mau mengikuti aturan dan regulasi yang semestinya.


Untuk jangka panjang efek kejut seperti pengungkapan, penindakan, penertiban, tentu tidak bisa menjadi upaya pamungkas dalam memberantas bisnis pinjol ilegal.

Pembenahan dan penguatan regulasi payung hukum untuk bisnis fintech peer to peer lending lah yang menjadi hal penting untuk dilakukan.

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan pembenahan regulasi payung hukum bisnis tersebut dapat dilihat dalam tiga periode waktu.

Peraturan-peraturan OJK tersebut mesti segera dioptimalkan penerapannya sehingga upaya pengungkapan yang dilakukan oleh Polri beberapa waktu yang lalu tidak menjadi efek kejut sesaat saja. Pengetatan dan pengoptimalan penerapan peraturan OJK diharapkan dapat mencegah pelaku yang berniat kembali berbisnis P2P lending ilegal.

Peraturan OJK tersebut bertujuan untuk memastikan kepatuhan dari penyedia aplikasi peminjaman online terhadap ketentuan-ketentuan yang ada di POJK agar diterapkan oleh para pelaku yang bergerak pada industri tersebut.

Kemudian, upaya jangka pendek lainnya yakni dengan mengikat para penyedia aplikasi P2P lending dengan kode etik yang dibuat oleh regulator, yakni asosiasi-asosiasi fintech Indonesia yang telah ditempatkan OJK.

Upaya jangka pendek ini diharapkan dapat menghambat pertumbuhan penyedia bisnis pinjaman online, namun tentunya tidak bisa dipergunakan untuk waktu yang panjang karena ada hal penting lainnya yang menyebabkan usaha-usaha pinjol ilegal terus tumbuh.

Masyarakat membutuhkan pinjaman yang mudah diakses dan bisa didapatkan dengan cepat. Hal itu ada pada bisnis pinjaman online.

Namun ada celah yang menjadi tempat tumbuhnya bisnis peminjaman online ilegal, dan hal itu tidak bisa dicegah hanya dengan peraturan OJK saja. Celah tersebut muncul terkait soal perlindungan data pribadi.

Eksploitasi data pribadi terjadi karena sekarang ini aturan yang ada belum memadai. Pinjol ilegal tumbuh memanfaatkan celah tersebut, memberikan kemudahan mendapatkan pinjaman pada masyarakat namun dengan mengharuskan peminjamnya memberikan data pribadi yang kebablasan kepada pinjol ilegal.

Pinjol meminta data pribadi dari nasabah dengan alasan melakukan skor kredit apakah layak diberi pinjaman atau tidak, serta guna mengurangi risiko gagal bayar dari nasabah.

Karena aturan perlindungan data pribadi belum memadai, hal itu dimanfaatkan oleh pinjol ilegal dengan mengeksploitasi data pribadi nasabah, bahkan pelaku pinjol ilegal bisa mengeruk data kontak serta galeri foto video dari gawai nasabah.

Data-data tersebut kemudian dipindahtangankan ke pihak ketiga yakni penagih, dan kemudian digunakan untuk mengintimidasi serta mengancam nasabah untuk membayar pinjamannya.

Oleh karena itu, pada periode jangka waktu menengah menurut Wahyudi Djafar pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi serta aturan teknis turunannya menjadi hal penting agar celah pinjol ilegal bisa ditutup.

Berikutnya, untuk periode jangka panjang Wahyudi menilai perlu ada undang-undang yang benar-benar menjadi payung hukum untuk teknologi keuangan. Undang-undang yang secara khusus mengatur teknologi keuangan.

Undang-undang tersebut nantinya tentu benar-benar mengikat pelaku industri di sektor teknologi keuangan. Berbeda dengan saat ini, aturan yang ada baru hanya di level peraturan dari Otoritas Jasa Keuangan.

Kolaborasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan Undang-Undang Teknologi Keuangan akan menciptakan iklim industri teknologi keuangan menjadi lebih sehat, menutup bentuk-bentuk industri ilegal dan tentunya memberikan rasa aman bagi masyarakat sebagai pengguna atau nasabah.

Untuk itu perlu didorong terus agar kedua UUinidisahkan oleh DPR sehingga masyarakat bisa terlindungi dari jeratan pinjol ilegal yang telah menghantui saat ini.

UU PDP jika sudah disahkan diharapkan bisa memberikan kejelasan terhadap keamanan dan perlindungan data maupun penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan data.

Sedangkann UU Teknologi Keuangan diharapkan bisa memperjelas landasan hukum industri keuangan berbasis teknologi sehingga bisa menindak pemain fintech ilegal.

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021