Jakarta (ANTARA) - Keberadaan pinjaman online atau daring, khususnya di tengah pandemi COVID-19, bagaikan sumber mata air di tengah gurun pasir.
Para penyedia jasa pinjaman menawarkan kemudahan yang dapat menjawab kegundahan masyarakat terkait kebutuhan finansial, sehingga acap kali membutakan sebagian besar nasabah mengenai bahaya yang mengintai.
Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan bahwa 55-60 persen warga negara Indonesia tidak memiliki akses ke rekening bank, baik karena keterbatasan akses, hingga kapabilitas yang belum mumpuni.
Selanjutnya, dari jumlah warga yang memiliki akses ke rekening bank, terdapat sebesar 40-45 persen nasabah yang tidak memiliki akses terhadap pinjaman bank.
Jeanny mengatakan, absennya akses tersebut dapat diakibatkan oleh penghasilan nasabah yang belum mumpuni, tidak adanya jaminan yang dapat diberikan oleh nasabah kepada bank ketika meminjam uang, hingga sumber penghasilan yang dinilai tidak stabil oleh pihak bank.
Oleh karena itu, ketika seseorang mengalami kesulitan untuk meminjam uang di bank, maka yang menjadi solusi bagi mereka adalah meminjam uang melalui jasa pinjaman online.
Baca juga: Peneliti ingatkan pentingnya penguatan perlindungan nasabah tekfin
Baca juga: Cara membedakan pinjol legal dan ilegal
Pinjaman online, kata Jeanny, menyediakan akses yang lebih mudah karena tidak membutuhkan jaminan, serta proses administrasi yang lebih sederhana apabila dibandingkan dengan proses administrasi yang harus dilalui oleh peminjam uang di bank.
Kemudahan tersebut mengakibatkan tingginya peminat pinjaman online, dan seolah-olah menunjukkan bahwa pinjaman online merupakan kebutuhan bagi masyarakat Indonesia.
Sayangnya, maraknya masyarakat yang menggunakan jasa pinjaman online tidak dibarengi oleh kesadaran akan bahaya yang mengintai di balik kemudahan tersebut. Terlebih, bahaya yang mengintai keamanan data pribadi milik para nasabah.
Pelindungan Data Pribadi
Penyedia jasa pinjaman online ilegal memiliki tendensi untuk menyalahi prinsip pelindungan data pribadi, khususnya mengenai pembatasan akses terhadap data pribadi yang dimiliki oleh para konsumen jasa tersebut.
Ketidakpatuhan terhadap prinsip pelindungan data pribadi mengakibatkan para penyedia jasa pinjaman online ilegal mengambil data pribadi milik pengguna secara besar-besaran dan dieksploitasi sedemikian rupa.
Data-data yang diambil oleh para penyedia jasa adalah nomor kontak yang terdaftar di dalam ponsel pengguna, media yang berupa foto dan video pribadi pengguna, hingga KTP dan bentuk wajah pengguna untuk melakukan pengenalan (recognition) biometrik berdasarkan bentuk wajah.
Penyedia jasa yang mengelola data nasabah lantas mengeksploitasi data-data yang mereka peroleh ketika melakukan penagihan untuk mengintimidasi para peminjam, khususnya yang terlambat membayar.
Para penagih utang (debt collector) menggunakan berbagai metode penagihan untuk menekan nasabah, seperti melakukan pengancaman, penipuan, penyebaran data pribadi, hingga pelecehan seksual.
Penagihan menggunakan metode-metode tersebut memunculkan berbagai permasalahan, seperti peminjam yang dipecat dari kantor, permasalahan rumah tangga, hingga melakukan bunuh diri.
Selain itu, Jeanny juga mengatakan bahwa tidak ada proses penyelesaian masalah dan penjatuhan sanksi yang layak jika konsumen mengadukan permasalahan yang dihadapi kepada lembaga negara terkait.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar memiliki pandangan yang serupa dengan Jeanny.
Wahyudi berpandangan bahwa berbagai dampak negatif yang diakibatkan oleh layanan pinjaman online ilegal merupakan akibat dari tidak adanya kejelasan aturan yang mengikat terhadap seluruh pengendali data.
Penyedia pinjaman online ilegal bahkan menyerahkan data nasabah ke pihak ketiga, selaku penagih utang, untuk melakukan tindakan-tindakan intimidasi kepada nasabah yang terlambat membayar. Padahal, seharusnya, pihak ketiga tidak memiliki kewenangan untuk menggunakan data pribadi milik peminjam.
Baca juga: Polri ungkap 13 kasus "pinjol" ilegal
Baca juga: Polri tangkap fasilitator sekaligus pemodal pinjol ilegal
Teknologi finansial yang inovatif ini, kata Wahyudi, tidak dibarengi dengan instrumen pengaman dalam bentuk regulasi yang lebih ketat. Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi, misalkan.
Hingga saat ini, rancangan undang-undang tersebut masih belum disetujui untuk disahkan oleh Pemerintah dan DPR.
Lantas, bagaimana cara untuk menekan permasalahan pinjaman online ilegal yang kian meluas?
Kesadaran masyarakat
Selain menanti kepastian regulasi dari para pemangku kepentingan, permasalahan mengenai pinjaman online ilegal, khususnya yang melibatkan pelindungan data pribadi, dapat dilakukan dengan cara membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga keamanan data pribadi dalam layanan pinjaman online.
"Publik harus memahami risiko menggunakan jasa ini," ucap Wahyudi ketika dihubungi oleh ANTARA.
Salah satu langkah yang dapat ditempuh oleh para pemangku kepentingan untuk mencegah permasalahan terkait pinjaman online ilegal adalah dengan menyebarluaskan informasi mengenai risiko pinjaman online ilegal, beserta ciri yang membedakan jasa pinjaman online ilegal dengan jasa pinjaman online yang legal.
Penyebaran informasi dapat dilakukan dengan cara sosialisasi, pemberian edukasi tentang literasi digital, hingga melalui iklan di media sosial untuk mengimbangi iklan-iklan tentang layanan pinjaman online yang begitu masif.
Masyarakat harus mengetahui risiko apa yang akan mereka hadapi ketika memberi izin kepada aplikasi pinjaman online ilegal untuk mengakses kontak dan media pada ponsel mereka.
Selain itu, masyarakat juga harus memperoleh edukasi mengenai pentingnya memastikan bahwa jasa pinjaman online yang mereka gunakan adalah jasa yang legal, demi memastikan kepatuhan para pengelola data dengan prinsip-prinsip pelindungan data pribadi.
Pinjaman online bukan merupakan sesuatu yang tabu, bukan pula jasa yang harus diharamkan. Apabila digunakan dengan cara yang tepat dan kesadaran yang tinggi, pinjaman online dapat menjadi solusi bagi masyarakat yang terhambat memperoleh pinjaman di bank.
Eksistensi layanan pinjaman online yang begitu masif menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan layanan tersebut.
Dengan demikian, yang harus menjadi fokus pemerintah bukan hanya mengenai regulasi dan membasmi jasa-jasa pinjaman online ilegal, melainkan juga harus fokus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya melindungi data pribadi.
Tanpa kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga keamanan data pribadi, regulasi yang dibentuk oleh pemerintah hanya akan menjadi rambu-rambu yang tidak efektif, dan kasus penyebaran data pribadi tidak akan menemui akhir.
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021