Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu mengingatkan pentingnya penguatan perlindungan yang memadai bagi para nasabah layanan finansial berbasis teknologi (tekfin).

Menurut dia, perlindungan ini penting mengingat pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial berdampak pada pendapatan dan daya beli beberapa kalangan sehingga mendorong masyarakat untuk mencari pinjaman, termasuk secara daring melalui skema peer-to-peer (P2P).

"Pinjaman jangka pendek payday loan, adalah salah sektor bisnis pinjaman P2P yang paling diminati. Sayangnya, jenis pinjaman ini juga yang paling banyak menimbulkan kontroversi," kata Thomas dalam pernyataan di Jakarta, Minggu.

Ia menjelaskan perlindungan yang dibutuhkan nasabah pinjaman P2P ini antara lain terkait transparansi persyaratan dan ketentuan pinjaman, serta penggunaan data pribadi untuk keperluan penagihan pembayaran.

Baca juga: Peneliti: Pengawasan Fintech perlu seiring edukasi literasi finansial

Menurut dia, salah satu alasan ketidakmampuan debitur dalam membayar utang yang membengkak dari pinjaman online (pinjol) dipengaruhi oleh ketidakpahaman bahwa pinjol menarik bunga yang jauh lebih besar dari kredit bank pada umumnya.

"OJK idealnya melakukan restrukturisasi pasar teknologi finansial, yang meliputi standar operasional bisnis pinjaman online, penggunaan Fintech Data Center (FDC) yang optimal untuk risk assessment dan perlindungan konsumen. Hal ini juga dibutuhkan untuk mengevaluasi kebijakan yang ada dan untuk memperkuat perlindungan data nasabah," katanya.

Ia juga mengatakan standar operasional bisnis pinjol perlu diatur lebih lanjut yang meliputi perlindungan data, transparansi bunga dan biaya yang harus dibayar peminjam dan standar proses penagihan utang.

Baca juga: Menanti hasil perang terhadap pinjol ilegal melalui upaya literasi

Selain itu, lanjut dia, hal penting yang perlu mendapatkan perhatian adalah masalah penyalahgunaan atau penggunaan data konsumen secara eksesif seperti kontak, lokasi, dan galeri dalam telepon seluler untuk digunakan dalam proses penagihan utang yang intimidatif.

Selanjutnya, Thomas juga menekankan pentingnya literasi keuangan seiring dengan peningkatan penetrasi layanan tekfin di masyarakat.

Di sisi lain, menurut dia, pemilik data harus menyadari risiko data yang diberikan, sehingga debitur harus bersikap hati-hati dan cermat dalam memberikan data serta harus menyadari data apa saja yang diperlukan terkait dengan tujuan layanan.

"Masalahnya, fintech lending jenis payday loan ini kebanyakan menyasar konsumen kelas menengah ke bawah, yang mayoritasnya masih belum melek literasi keuangan," katanya.

Saat ini, berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, setiap tekfin yang beroperasi di Indonesia diharuskan untuk mencatatkan diri ke OJK secara legal lewat prosedur yang berlaku.

Meski hanya berhak mengatur perusahaan tekfin yang terdaftar, Thomas mengharapkan OJK dapat bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lain dalam melakukan pemblokiran pemberi pinjaman ilegal untuk melindungi konsumen dari praktek pelanggaran hukum.

Pewarta: Satyagraha
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021