Smart grid juga mendukung pemanfaatan sumber energi terbarukan dan memungkinkan partisipasi pelanggan dalam penyediaan tenaga listrik.

Jakarta (ANTARA) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mendorong penggunaan teknologi smart grid atau jaringan listrik pintar untuk meningkatkan penetrasi energi hijau di Indonesia.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan smart grid menjadikan sistem pengaturan tenaga listrik lebih efisien dan menyediakan keandalan pasokan tenaga listrik yang tinggi.

"Smart grid juga mendukung pemanfaatan sumber energi terbarukan dan memungkinkan partisipasi pelanggan dalam penyediaan tenaga listrik,” ujarnya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Minggu.

Baca juga: Pemerintah punya delapan strategi bangun kelistrikan nasional

Saat ini, PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) punya proyek yang sedang berjalan atau on going project yang berkaitan dengan implementasi smart grid di Indonesia, yaitu Remote Engineering, Monitoring, Diagnostic, and Optimization Center (REMDOC) yang kini sudah memasuki tahap dua.

Rida menyampaikan sebanyak 14 dari 28 pembangkit listrik sudah terintegrasi dengan teknologi smart grid per Juli 2020.

“Besar harapan kami kepada para pelaku usaha ketenagalistrikan untuk terus berkomitmen dalam pengembangan smart grid yang menjadi salah satu kunci sukses transisi pemanfaatan energi ramah lingkungan,” kata Rida.

Baca juga: PLN optimistis mampu turunkan emisi karbon 117 juta ton hingga 2025

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan energi nasional berupa transisi dari energi fosil menjadi energi baru terbarukan sebagai upaya mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah krisis iklim.

Menurut Rida, kebijakan itu sejalan dengan komitmen Indonesia pada Paris Agreement tentang penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen sampai 41 persen pada 2030.

“Saat ini komitmen untuk mengatasi perubahan iklim disikapi dengan roadmap menuju net zero emission. Pemerintah sudah mengarah ke sana,” jelasnya.

Dia menyampaikan tantangan yang harus dihadapi menuju netralitas karbon, di antaranya mengurangi emisi yang ada saat ini terkhusus pada sektor pembangkit listrik.

Penggunaan batu bara di pembangkit kini cukup besar dan relatif murah. Selain itu, industri juga dituntut untuk menggunakan energi yang rendah karbon agar dapat diserap oleh pasar global.

“Pengembangan kelistrikan ke depan terutama di sisi pembangkitan mengarah kepada teknologi dan sumber daya yang ramah lingkungan seiring dengan upaya PLN selaku BUMN subsektor ketenagalistrikan dan pemerintah untuk bertransisi ke net zero emission,” ucap Rida.

Baca juga: Arah kebijakan energi nasional dukung transformasi ekonomi hijau

Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal BKPM Nurul Ichwan menyampaikan bahwa sejak 2015 sudah ada komitmen dari dunia internasional untuk mengurangi emisi karbon dan rencananya sampai 2050 sudah mencapai netralitas karbon.

Dari sisi bisnis dan investasi, pelaku usaha merespon lebih agresif atas emisi karbon. Beberapa dari mereka justru punya target 2040 sudah netral karbon.

Bahkan Uni Eropa sudah mengajukan aturan mengenai Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Regulasi ini menetapkan semua barang ekspor yang masuk ke Uni Eropa akan dicatat kontribusi karbon dalam proses produksinya terhitung mulai 2023.

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021