Menurut informasi yang dikumpulkan oleh tim, pilihan yang terbaik saat ini adalah ke Tunisia, tentunya dengan pertimbangan berbagai aspek seperti keamanan
Jakarta (ANTARA News) - Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Michael Tene di Jakarta mengatakan, gelombang pertama warga negara Indonesia yang diungsikan dari Libya akan diberangkatkan pada Jumat malam dari Tripoli menuju Tunisia.

"Pemerintah sudah memutuskan untuk mengevakuasi WNI di Libya secepatnya. Untuk tahap pertama, kita akan mengungsikan sekitar 250 - 260 warga negara Indonesia dengan pesawat Tunis Air, yang mendarat di Tripoli sekitar pukul 19.00, untuk kemudian diberangkatkan ke Tunis," katanya dalam jumpa pers rutin Kemlu di Jakarta.

"Jumlah 250- 260 warga tersebut disesuaikan dengan kapasitas pesawat Tunis Air, sejumlah 201 di antaranya merupakan pekerja PT Wika yang beroperasi di Libya, sedangkan sisanya masih dalam proses pendataan," kata Michael.

Menurut dia, sebelumnya Kemlu dan KBRI Tripoli telah menyiapkan berbagai pilihan untuk mengungsikan WNI dari Libya, baik melalui darat, laut, ataupun udara, namun saat ini keputusan untuk mengungsikan WNI ke Tunisia melalui udara merupakan pilihan terbaik.

"Menurut informasi yang dikumpulkan oleh tim, pilihan yang terbaik saat ini adalah ke Tunisia, tentunya dengan pertimbangan berbagai aspek seperti keamanan," katanya.

Sebelumnya menurut laporan beberapa media, Yordania akan menjadi tujuan evakuasi WNI dari Libya, namun Kemlu menegaskan bahwa Tunisia merupakan pilihan yang terbaik saat ini.

"Opsi yang dipilih adalah yang paling baik, paling aman," kata Michael.

Ketika ditanyai tentang keberadaan WNI yang tidak terdaftar di KBRI, Michael mengatakan bahwa KBRI akan memberikan perlindungan seoptimal mungkin terhadap warga negara Indonesia, baik yang terdaftar maupun ilegal.

Mengenai anggapan bahwa respon pemerintah Indonesia yang dinilai lambat, Michael menepis anggapan tersebut karena menurutnya, Kemlu dan KBRI Tripoli telah bekerja sesuai dengan perkembangan situasi di sana.

"Situasi di sana tidak mudah, komunikasi cukup sulit, staf kedutaan jumlahnya terbatas, bergantung pada keberadaan WNI di sana sehingga tidak bisa dipukul rata untuk kemudian dikatakan terlambat," kata Michael.
(KR-PPT/F002)

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011