"Pemerintah sebaiknya fokus bagaimana meningkatkan kualitas film Indonesia, karena saat ini industri film negeri ini berada pada titik nadir," katanya pada diskusi "Quo Vadis Industri Film Indonesia" di Yogyakarta, Rabu.
Menurut dia, film Indonesia saat ini lebih banyak yang menampilkan hantu, mistik, dan seks. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk meningkatkan kualitas film Indonesia agar mampu bersaing dengan film-film asing.
"Pemerintah belum mengetahui petunjuk yang tepat bagaimana menuju industri film yang bagus di Indonesia. Upaya yang dilakukan baru sebatas hitung-hitungan ekonomi dengan menaikkan pajak film impor yang masuk Indonesia," katanya.
Ia mengatakan, pemerintah belum mengetahui industri film secara keseluruhan, tetapi baru sepotong-sepotong, sehingga aturan yang dibuat hanya secara hitung-hitungan ekonomi bukan pada peningkatan kualitas film nasional.
"Kenaikan pajak impor film yang diterapkan pemerintah dapat dikatakan sebagai salah satu upaya untuk memboikot film impor," kata dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu.
Ia mengatakan, upaya pemboikotan film impor di Indonesia sebenarnya pernah dilakukan pada 1960-an. Pada 1956 hingga 1966 film impor dari Amerika Serikat (AS) mencapai 500 film dan negara lain 100 film, sedangkan produksi film Indonesia hanya 58.
Oleh karena itu, menurut dia, pada 1960-an sudah ada upaya memboikot film impor untuk meningkatkan nasionalisme.
"Proteksi terhadap film nasional sebenarnya sudah ada sejak dulu sebagai upaya menandingi film-film AS yang menggurita. Jadi, wajar jika pemerintah melakukan pajak tontonan terhadap film luar negeri," katanya.(*)
(L.B015*H010/H008)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011