Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar mengklaim Indonesia dalam posisi yang sesuai jalur (on track) untuk menjalankan komitmennya mengurangi emisi karbon guna merespons perubahan iklim.
Indonesia telah menyampaikan komitmen pengurangan emisi karbon atau gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 atau 41 persen jika didukung upaya internasional, kata Mahendra dalam forum Expo 2020 Dubai di Uni Emirat Arab (UAE).
Indonesia menggunakan pembandingan bahwa pengurangan sebesar 41 persen itu setara dengan pengurangan 1,1 gigaton (1.100 juta ton) CO2 atau gas rumah kaca.
Jika dibandingkan dengan komitmen Inggris selaku ketua KTT Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (COP26) tahun ini, komitmen Indonesia untuk mengurangi 1,1 gigaton CO2 adalah tiga kali lipat komitmen Inggris.
Baca juga: IESR: Penurunan emisi GRK transformasikan ekonomi menuju rendah karbon
“Padahal Indonesia adalah negara berkembang dan Inggris adalah negara maju. Ini menunjukkan bahwa komitmen kita besar sekali dan dalam konteks itu (perubahan iklim—red) seluruh langkah yang dilakukan benar-benar menumbuhkan optimisme dapat kita capai,” ujar Wamenlu ketika menyampaikan keterangan pers secara virtual dari Dubai, Rabu malam.
Pada saat yg sama, Indonesia juga telah merilis dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050, yang antara lain menyampaikan bahwa target dari sektor kehutanan dan tata lahan pada tahun 2030 nanti akan menjadi penyerap karbon secara netto (net carbon sink).
Menurut Mahendra, hal itu bisa dilakukan karena untuk pertama kalinya sektor kehutanan yang menyumbang 6 persen emisi karbon Indonesia akan menjadi penyerap penting dari gas rumah kaca dan menjadi solusi global dalam upaya pengurangan karbon.
“Ini memungkinkan karena tingkat deforestasi di Indonesia terus menurun ke tingkat rendah sepanjang 20 tahun terakhir dan kebakaran hutan pada tingkat yang paling rendah turun ke 28 persen dibandingkan sebelumnya,” ujar dia.
Baca juga: Nol karbon: Menyelamatkan bumi atau menambal emisi?
“Padahal di belahan dunia lainnya, baik di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia, justru yang terjadi adalah kebakaran yang sangat besar, dan justru menyumbangkan emisi gas rumah kaca yang sangat tinggi,” kata Mahendra.
Dalam Expo 2020 Dubai yang juga membahas langkah-langkah untuk meningkatkan keberlanjutan minyak nabati khususnya minyak sawit, Indonesia menegaskan keniscayaan bahwa permintaan terhadap minyak nabati kimia akan terus meningkat dalam 10 hingga 20 tahun ke depan.
Tingginya permintaan akan minyak nabati dipicu populasi dunia yang terus meningkat serta jumlah pendapatan populasi dunia yang semakin tinggi.
Karena itu, Indonesia mendorong kerja sama di antara negara penghasil minyak nabati untuk bisa memproduksi komoditas tersebut secara berkelanjutan.
Baca juga: Sri Mulyani ungkap biaya atasi perubahan iklim, capai 479 miliar dolar
“Perlu kami sampaikan bahwa tidak pada tempatnya di antara para produsen ini saling bersaing... terkadang kondisinya malah saling diskriminatif dan merugikan. Padahal kalau sepenuhnya tujuannya itu adalah untuk menuju kepada produksi dan pemulihan konsumsi yang berkelanjutan, justru harus bekerja sama, dan melihat secara menyeluruh, seimbang, tidak diskriminatif,” kata Wamenlu.
Expo 2020 Dubai adalah ajang internasional untuk memamerkan beragam potensi maupun prestasi berbagai negara.
Indonesia turut serta dalam pameran tersebut bersama 191 negara partisipan lainnya.
Paviliun Indonesia pada Expo 2020 Dubai mengangkat tema "Creating the Future, from Indonesia to the World" yang diharapkan dapat menjadi peluang untuk meningkatkan citra Indonesia di mata dunia dan meningkatkan ekspor Indonesia secara keseluruhan, khususnya ekspor produk nonmigas.
Baca juga: Anies targetkan Jakarta jadi kota berketahanan iklim
Baca juga: Pemerintah kaji enam proyek penampungan karbon atasi perubahan iklim
Dukungan internasional untuk percepat pengurangan emisi di Indonesia
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2021