Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menyatakan pasal 21 dan pasal 47 ayat (1) serta ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan telah memenuhi asas "lex certa" yaitu jelas, pasti, dan tidak meragukan.
Hal ini diungkapkan Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir di Jakarta Selasa menanggapi permohonan uji materi UU Perkebunan di Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pemohon yang terdiri empat petani, yakni Japin, Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin mengajukan permohonan UU Perkebunan karena dinilai membuka ruang bagi perusahaan perkebunan untuk mengeksploitasi lahan rakyat secara besar-besaran.
Keempat petani ini meminta MK menghapus pasal 21 dan 47 dari Undang-undang tersebut karena tidak memiliki kepastian hukum.
Pasal 21 UU Perkebunan berbunyi, "Setiap orang dilarang melakukan pengamanan usaha kerusakan kebun dan/atau asset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan".
Sedangkan Pasal 47 ayat (1), "Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kabun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar".
Ayat (2) berbunyi, "Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tidnakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan dan denda paling banyak Rp2,5 miliar".
Menurut Gamal, kedua pasal ini menyebutkan bahwa berdasarkan teori penafsiran sistematis, bagi siapa pun yang melanggar unsur-unsur pasal 21 baik disengaja atau kelalaian dapat dituntut dengan pidana pasal 47 UU Perkebunan.
Dia juga menilai alasan para pemohon bahwa ketentuan pasal 21 dirumuskan secara samar-samar dan tidak dirumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana adalah mengada-ada dan lebih kepada asumsi subjektif belaka.
"Syarat untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah perbuatan yang memenuhi delik dalam UU. Ini merupakan konsekuensi logis dari asas legalitas sebagai prinsip kepastian," kata Gamal di depan majelis hakim MK.
Wakil pemerintah ini juga mengatakan pasal 47 juga telah memnuhi perumusan norma hukum serta sanksi sehingga sesuai dengan perumusan tindak pidana dalam UU.
Dia juga menyatakan bahwa pasal 21 dan 47 UU Perkebunan ini tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum, jaminan kepastian hukum dan tidak membatasi hak-hak konstitusional warga negara.
"Tidak membatasi hak-hak konstitusional warga negara untuk mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan dasar hidup, hak atas rasa aman dan bebas dari rasa takut seperti yang dijamin dalam UUD 1945," katanya.
(J008/S019/S026)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011