Jakarta (ANTARA News) - Ngobrol seru soal goyang, atmosfer publik dibelai oleh buaian kata-kata disalut nada yang dilantunkan oleh penyanyi Inul Daratista. Telinga penikmat dendang dangdut seakan dibuai oleh nada pelipur lara setelah digoyang suka duka kehidupan.

Ajakan bergoyang dengan imbalan saweran dikemukakan oleh sang biduanita . "Ayo dong bang bergoyang. Biar saya temenin Jangan lupa sawernya. Buat tambahan saya Smakin banyak sawerannya. Makin asik goyangannya," demikian nukilan lagu Goyang Dombret.

Ajakan itu mengulangi hukum besi perikehidupan bahwa, aku memberi supaya Anda juga memberi, dalam bahasa Latin: Do ut Des. Sebuah pertukaran jual beli dengan memberi dan menerima. Ini bisa jadi akar korupsi hati.

Sontak publik yang disetrum oleh alunan nada-nada tembang dangdut ingin segera disembuhkan dari bilur-bilur luka kehidupan. Setelah hari demi hari menjalani hidup yang membuat hati kian sekarat, rasanya ingin cepat-cepat menimba penyembuhan lewat kata dan nada.

Uups...ada sosok yang menggoda ingin menjaring hati sampai di dermaga peraduan hati. "Saya sinden cuma nyanyi. Tapi banyak yang menggoda. Harus bisa jaga diri. Supaya jangan ternoda". Dunia goyang dombret sarat godaan agar hati tidak bengkok seturut iming-iming syahwat.

Urusan teks goyang dombret yang nyerempet tabu-tabu kecil mengulangi petualangan manusia pertama Adam dan Hawa ketika keduanya menyantap buah Baik dan Buruk. Langit pun tiba-tiba bersuara, "Maka terbukalah mata mereka dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang". Ketelanjangan membuat obrolan antara Adam dan Hawa kian bersemangat dan kian bergelora.

Jadilah "tiga serangkai K" yang meneror hidup manusia, yakni Kebebasan, Ketelanjangan dan Kesulitan Hidup. Adakah kebebasan mengiyakan ketelanjangan agar kesulitan hidup dapat berjalan seia-sekata dengan daulat hati?

Ada dua proklamasi daulat hati. Pertama, manakah yang baik? Manakah yang lebih baik, dan manakah yang kurang baik? Kedua, Apakah yang harus kulakukan? Dan dengan cara manakah? Demi masa depan, sebaiknya aku berbuat apa?

Dua laga berkesenian lekas-lekas merespons proklamasi hati. Sebut saja, heboh film Arwah Goyang Krawang (AGK), kontroversi Tayub. Film Arwah Goyang Krawang yang dibintangi Julia Perez dan Dewi Perssik kini berganti judul menjadi Arwah Goyang Jupe-Depe.

"Dialognya jelas, bahkan ada pembelaan untuk kesenian tradisional. Tapi semuanya kembali kepada penonton, kalau memang frasa `Goyang Karawang` dianggap tidak pantas, ya saya lebih memilih tidak menggunakan frasa itu," kata produser film AGK, Shankar RS, setelah Lembaga Sensor Film (LSF) mengundangnya untuk bertemu, Jumat (18/02).

Pemrotes datang bertubi-tubi menyambangi film AGK. Puluhan perempuan dari Gabungan Organisasi Wanita dan Aliansi Perempuan Karawang mendatangi gedung DPRD setempat. Mereka menuntut agar pemerintah daerah menolak peredaran Film AGK.

"Kami menolak film itu karena tidak ada unsur pendidikan dan tidak ada potret perkembangan Karawang sedikit pun. Film itu telah merendahkan dan melecehkan martabat perempuan," kata Ny Yusuf Asikin, salah seorang perwakilan Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Karawang.

Perwakilan GOW Karawang lainnya, Ny Nurhayati, mempertanyakan kepada DPRD Karawang dan pemerintah daerah setempat mengapa mencantumkan kata "Karawang". "Kami meminta dukungan kepada DPRD dan Pemkab Karawang agar menolak peredaran film itu. Sebab, akan berdampak buruk terhadap pencitraan Karawang," katanya.

Pengamat kesenian ronggeng Bucky Wikagoe telah mengirim pesan singkat atau SMS kepada Wali Kota Bandung Dada Rosada, agar melarang peredaran film AGK di Bandung. "Laporkan saja ke polisi. Kalau ada yang nekat menayangkan, tentu dia akan kena pasal menyebarluaskan. Proses hukum saja pihak-pihak pembuat film AGK," katanya.

Terbangun oleh gemuruh respons seputar film AGK, maka radar hati dan pikiran publik teringat kepada pro kontra Tayub yang terpidana sebagai tarian erotis. Hati pria mana yang tidak deg-degan. Ditingkahi suara gong, dipadu kendang dengan irama rancak, penari tayub bergoyang bersemangat dengan gemulai anggota tubuh. Serabut erotisme tiba-tiba bergetar sekejap.

Terus dan terus, penari "menggoda" penonton dengan sesekali kerlingan mata. Dulu, para penari ini biasa memberi sawer dengan cara memasukkannya ke kemben atau kain penutup dada. Para penayub dipidana sebagai "murahan". Sekarang, kesan miring itu perlahan pupus.

Menurut Juniati, salah seorang penari Tayub asal Jenar, pakaian penari tayub sekarang ini jauh lebih bersahaja bila dibandingkan penyanyi dangdut atau campur sari. ?Tayub sekarang sudah berbeda dengan tayub jaman penjajah dulu, sekarang sudah tak ada kebiasaan-kebiasaan yang negatif seperti pada jaman dulu,? katanya.

Tembang goyang dombret, film Arwah Goyang Krawang, dan kontrovesi Tayub seakan mendamparkan manusia kepada dua pilihan makna hidup dalam dunia pewayangan.

Sisi Kurawa yang memerankan keangkaraan, dan sisi Pandawa yang melakonkan kebenaran dalam kelir hitam putih. Pembacaannya, serba mendua atau memuat nilai ambivalen, bahkan bukan semata-mata hitam-putih.

Artinya, ketiga teks itu terlahir sebagai jagat berkesenian. Ketiganya mengajak manusia untuk menajamkan mata hati guna memilih pemuliaan hidup, bukan justru memberangus hidup yang bersegi banyak.

Setali tiga uang dengan jualan norma di kedai moralitas. Kalau ada rumusan negatif misalnya, "Jangan berbohong!", maka dalam rumusan positifnya berupa anjuran, "Katakanlah kebenaran!" Dua sisi dari satu keping mata uang kehidupan.

Kini dan di sini, ketika penari Tayub menembang lagu Goyang Dombret kemudian menimba keping makna dari film AGK, boleh jadi ada ajakan, "Tariiik, Mang...." Tembang terus berulang, "Goyang dombret A..A..A.. goyang dombret. Goyang dombret.. goyang dombret...."
(*)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011