Riyadh (ANTARA News) - Produsen dan pemasok minyak dan gas utama, Selasa, akan menandatangani piagam di Riyadh yang terutama ditujukan untuk membatasi volatilitas harga dan peran spekulan, kata para pejabat.
Piagam yang tidak mengikat tersebut akan ditandatangani oleh 87 negara, mewakili 90 persen produsen dan konsumen minyak dunia, kata Asisten Menteri Perminyakan Saudi, Pangeran Abdul Aziz bin Salman, dalam konferensi pers Senin, seperti dikutip AFP.
Penandatanganan akan dilaksanakan pada pertemuan tingkat menteri luar biasa di Riyadh yang merupakan kantor pusat Forum Energi Internasional (IEF). Pertemuan ini juga akan membahas berbagai isu lain, seperti peraturan pasar energi, prospek, dan transparansi.
"Pertemuan ini akan menangani dua isu utama; fluktuasi harga pada jangka pendek dan dalam jangka panjang permintaan dan penawaran minyak mentah dan gas," kata Pangeran Abdul Aziz. Dia menambahkan bahwa pertemuan itu tidak akan membahas penetapan harga tertentu.
"Ini bukan untuk membatasi harga, tetapi lebih pada kerangka harga," katanya. Dia menambahkan bahwa hampir semua negara mendukung secara bulat inisiatif Raja Abdullah dari Arab Saudi bahwa harga yang pantas adalah 70-80 dolar AS per barel.
Sekretaris Umum IEF, Noe van Hulst, mengatakan bahwa para menteri setuju dengan suara bulat bahwa fluktuasi tajam di pasar akan berbahaya.
Pertemuan itu untuk mengantisipasi pemulihan ekonomi dan kekerasan di Timur Tengah yang telah mendorong harga minyak kembali ke level yang terakhir terlihat sebelum krisis keuangan global 2008, saat harga minyak mentah Brent melonjak di atas 105 dolar per barel.
Pada pertemuan sebelumnya di Meksiko pada Maret 2010, IEF sepakat untuk meningkatkan dialog dengan tujuan meningkatkan transparansi di pasar energi untuk mengurangi volatilitas harga.
Untuk berbagai tujuan ini, para anggota memutuskan, kesepakatan harus diabadikan dalam Piagam dan pertemuan di Riyadh akan mendukung itu.
Harga minyak, setelah jatuh sepanjang 2008 dan sampai 2009, kembali meningkat terus karena ekonomi global telah pulih.
Harga minyak mentah Brent, yang menjadi patokan utama, Senin, melonjak di atas 105 dolar per barel karena pasar khawatir meningkatnya ancaman terhadap pasokan karena menyebarnya kerusuhan politik di Timur Tengah.
Biaya energi yang lebih tinggi mulai memicu kenaikan inflasi, menimbulkan kekhawatiran bahwa hal ini bisa memaksa negara untuk kenaikan suku bunga guna mengendalikan harga - sebuah langkah yang juga akan merugikan pertumbuhan.
Pada saat yang sama, naiknya harga minyak dan komoditas lainnya telah memicu kecurigaan bahwa pasar didorong oleh spekulan, bukannya mencerminkan permintaan dan penawaran, mendorong munculnya regulasi baru.
Tahun lalu, IEF menempatkan topik ini di agenda Riyadh dan bahkan telah menjadi lebih hangat dibicarakan dari pada kenaikan energi dan pasar lainnya dalam 12 bulan terakhir.
OPEC memutuskan untuk mempertahankan target produksi pada pertemuan rutin terakhir pada bulan Desember dan tidak akan bertemu lagi sampai Juni.
Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ali al-Naimi, mengatakan, ia berharap minyak berada di kisaran 80 dolar per barel pada tahun 2011 dan mengatakan OPEC bisa meningkatkan produksi untuk memenuhi kenaikan permintaan minyak sebesar dua persen tahun ini.
Tetapi beberapa anggota OPEC, seperti Libya dan Iran, telah mengambil garis lebih keras dari pada Riyadh, dalam menyambut harga yang lebih tinggi. (A027/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011