Jakarta (ANTARA News) - Beberapa anggota DPR mengkritik keinginan sejumlah LSM asing agar Indonesia menerapkan moratorium konversi terhadap semua jenis hutan karena sebenarnya yang banyak merusak lingkungan adalah negara-negara Eropa dan Amerika.

"Jika pihak asing tidak menginginkan kerusakan lingkungan, maka harus dimulai dari mereka sendiri. Bukan sebaliknya, memaksa Indonesia mengurangi emisi karbon, sementara AS dan Eropa justru paling banyak memproduksi karbon," kata anggota Komisi XI DPR dari PDIP Eva Kesuma Sundari, di Jakarta, Senin.

Seperti diketahui, sesuai kesepakatan Oslo tahun lalu, moratorium hutan hanya berlaku pada kawasan hutan primer dan lahan gambut saja, yang efektif pada awal tahun ini. Namun belakangan, LSM asing hendak memaksakan agar moratorium hutan berlaku untuk semua jenis kawasan hutan, seperti hutan sekunder dan area penggunaan lainnya.

Eva mengatakan jika Indonesia diminta untuk menjaga lingkungan untuk menghasilkan oksigen maka negara maju juga harus mengimbanginya dengan cara mereka tidak boros energi. "Biar adil," katanya.

Wakil Ketua Fraksi PDIP DPR ini juga mengaku heran kenapa LSM asing tidak menyoroti kerusakan lingkungan yang ditimbulkan perusahaan pertambangan, tertutama yang dikelola asing. Padahal, kerusakan hutan akibat pertambangan justru lebih besar dibandingkan pembukaan lahan untuk tanaman produktif.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Soebagyo juga mengingatkan, jika moratorium tetap dijalankan, bisa menimbulkan revolusi sosial. Menurut dia, sebagai negara hukum dan berdaulat, Indonesia tidak boleh diatur-atur asing.

Dijelaskan Firman, program MDG's (Sasaran Pembangunan Milenium) yang dirancang pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dipastikan akan terhambat jika moratorium tetap dilaksanakan. Selain itu MDGs akan sulit tercapai jika rakyat tidak lagi mampu membeli nasi, katanya.

Kedua politisi ini sama-sama berpendapat, paling penting saat ini adalah komitmen kuat dari pemerintah tentang bagaimana mengelola hutan dan sumber daya alam dengan lestari. Menurut mereka, upaya ini lebih pro terhadap rakyat sekaligus meningkatkan perekonomian nasional.

Sebelumnya Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Hadi Daryanto, mengatakan potensi hilangnya investasi yang membutuhkan kawasan hutan untuk kegiatan kehutanan dan nonkehutanan diperkirakan mencapai Rp29 triliun per tahun pasca-kesepakatan LoI Indonesia-Norwegia.

Kalau implementasi moratorium diterapkan sebagai bagian dari upaya penurunan emisi 26 persen sampai 10 tahun ke depan, maka kehutanan akan kehilangan potensi dari investasi kegiatan HTI, kebun (sawit), biomassa, dan tambang yang membutuhkan kawasan hutan seluas 14 juta hektare.

Dia mencatat kebutuhan kawasan hutan setiap tahunnya untuk HTI 500 ribu hektar dengan investasi Rp15 juta per hektare, sawit 300 ribu hektare dengan investasi Rp35 juta per hektare, biomass 200 ribu hektar dengan investasi Rp10 juta per hektare dan kebutuhan tambang 400 ribu hektarE dengan investasi paling kecil Rp20 juta per hektare.

Dikatakannya, potensi investasi yang hilang dari HTI Rp7,5 triliun, sawit Rp10,5 triliun, biomass Rp3 triliun, dan tambang Rp8 triliun. Kondisi itu juga menyebabkan hilangnya kesempatan kerja langsung untuk 700.000 orang.(*)
(ANT/R009)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011