Sanksi pelanggaran keimigrasian terkait dengan perlintasan orang asing perlu dikaji ulang agar ada efek jera yang lebih berdampak.

Jakarta (ANTARA) - Tempat pemeriksaan imigrasi (TPI) merupakan pintu resmi perlintasan orang untuk masuk atau keluar wilayah Indonesia, yang meliputi TPI darat dan TPI laut.

Saat ini tercatat jumlah TPI yang terdapat di Indonesia sebanyak 90 pelabuhan laut, 37 bandar udara, 11 pos lintas batas internasional (PLBI), dan 44 pos lintas batas tradisional (PLBT).

Bila dibandingkan antara jumlah TPI dengan luas wilayah Indonesia dan jumlah pulau dari Miangas sampai Pulau Rote, belum berimbang.

Selain itu, persoalan perlintasan orang di wilayah perbatasan bergerak dinamis dan beragam sehingga kolaborasi dan sinergitas dengan para pemangku kepentingan lain adalah kunci utama keberhasilan dalam menyelesaikan permasalahan lalu lintas orang di wilayah perbatasan.

Memang bukan tugas yang ringan untuk memantau lalu lintas orang di perbatasan, apalagi di wilayah terpencil dan pulau terluar Indonesia. Meski saat ini terdapat 18 kementerian/lembaga (K/L) yang terlibat di dalamnya, sesuai dengan tugas dan fungsi (tusi) masing-masing.

Pelanggaran keluar masuk orang di wilayah perbatasan patut mendapat prioritas. Pasalnya, pelanggaran lalu lintas orang di perbatasan dapat berdampak luas pada berbagai bidang kehidupan, baik secara fisik maupun nonfisik.

Maksudnya, ada orang asing masuk wilayah Indonesia secara ilegal kemudian melakukan kegiatan yang tidak berdampak positif bagi masyarakat maka hal ini akan merugikan kehidupan ekonomi sosial penduduk sekitar. Selain itu, dampak yang lebih luas lagi adalah memengaruhi ideologi dan politis yang dapat mengarah pada kerapuhan tatanan kehidupan berbangsa.

Dalam kaitannya dengan persoalan keluar masuk orang di perbatasan, dapat dibatasi pada tiga permasalahan yang sampai saat ini masih aktual. Artinya, persoalan ini masih dicuatkan pada pertemuan terbatas dengan Instansi terkait atau masih terjadi di lapangan.

Minimalkan Dampak Negatif

Pertama, masih lemahnya pengawasan orang asing secara berkala di wilayah perbatasan atau wilayah terpencil. Masalah ini merupakan persoalan klasik dan utama.

Mengapa dikatakan masih lemahnya pengawasan? Indikator yang dapat digunakan yaitu masih terdapat jumlah pelanggaran keimigrasian di sejumlah perbatasan.

Dalam setahun bisa mencapai angka seratusan orang yang melakukan pelanggaran di beberapa wilayah perbatasan.

Pelanggaran ini bergerak fluktuatif, baik kuantitas maupun kualitas, dari waktu ke waktu sehingga langkah yang bisa dilakukan adalah meminimalisasi dampak negatif dari masuknya orang asing secara ilegal ke Indonesia karena merupakan kemustahilan bila mengharapkan tidak ada pelanggaran lalu lintas orang di perbatasan.

Wilayah perbatasan memiliki garis patok yang luas dan terbuka sehingga terdapat probabilitas yang tinggi untuk keluar masuk orang dari dan ke wilayah Indonesia tanpa melewati TPI (ilegal).

Langkah meminimalisasi dampak orang asing yang masuk secara ilegal, yaitu dengan melakukan diseminasi pada penduduk sekitar wilayah perbatasan terkait dengan kehadiran orang asing di wilayahnya.

Masyarakat agar melaporkan ke aparat terkait jika mengetahui orang asing berada di wilayahnya; memberikan pemahaman mengenai kegiatan yang melanggar hukum dan berisiko tinggi bagi kerusakan anak bangsa contoh narkoba; memperkaya wawasan kebangsaan, antara lain semua WNI memiliki tanggung jawab menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Hal lain yang tak kalah penting adalah mendorong peningkatan taraf hidup warga sekitar perbatasan. Tentu saja ini merupakan tusi dari para pemangku kepentingan terkait dengan bidang ekonomi.

Sebagaimana yang dipahami bersama, jika penduduk sekitar perbatasan hidup dalam garis kemiskinan (tanpa bermaksud merendahkan, hanya sekadar ilustrasi), akan sangat mudah bagi orang asing yang masuk secara ilegal ke wilayah Indonesia untuk melakukan pendekatan persuasif dari sudut ekonomi kepada warga sekitar agar mereka dapat leluasa melakukan aktivitas yang bertentangan dengan hukum, tanpa ada laporan warga lokal kepada aparat berwenang.

Perjanjian Kerja Sama

Persoalan kedua, belum optimalnya sinergi dan pelibatan semua pihak guna mengimplementasikan fungsi pemantauan dan pengawasan orang asing.

Pertanyaan menarik dibenak penulis adalah bukankah K/L yang menangani perbatasan sebanyak 18 K/L?

Jika dicermati lebih jauh dari perspektif geografis, merupakan suatu kemustahilan 18 K/L bisa mengawasi tiap sudut perbatasan dengan negara lain. Hal ini mengingat wilayah perbatasan memiliki garis patok yang sangat panjang sehingga terdapat peluang bagi pelintas untuk melewati jalan tikus bila hendak menyeberang ke negara lain.

Selama ini memang 18 K/L telah berkolaborasi, baik melalui rapat koordinasi maupun secara bersama turun ke lapangan.

Agar upaya dari 18 K/L lebih optimal, sebaiknya dipetakan kendala yang dihadapi sesuai dengan tusi masing-masing. Selanjutnya mencari solusi bersama dengan memaksimalkan sumber daya (manusia dan teknologi) yang ada.

Meski sumber daya manusia dari 18 K/L yang terlibat di perbatasan masih terbatas, 18 K/L yang berkontribusi menjaga wilayah perbatasan masing-masing memiliki seperangkat teknologi dalam rangka mengejawantahkan tusinya.

Oleh karena itu, dibutuhkan kolaborasi secara kesisteman agar capaian lebih optimal. Kolaborasi kesisteman ini tidak harus melibatkan 18 K/L, bisa saja hanya 6 dari 18 K/L tersebut, misalnya.

Namun, yang terpenting dari itu semua adalah kerja sama kesisteman ini dapat menjadi solusi terbaik atas persoalan lalu lintas orang di wilayah perbatasan. Integrasi kesisteman antar-K/L ini dapat dituangkan dalam perjanjian kerja sama (PKS) agar sampai pada implementasi.

Tanpa bermaksud lain, hanya mengingatkan saja, bahwa salah satu kelemahan ketidakberhasilan suatu program adalah tidak adanya unsur keberlangsungan. Oleh karena itu, integrasi kesisteman ini harus dirancang berkesinambungan dan jangka panjang agar tidak menjadi kerja sama kesisteman sesaat.

Hal lain, bagi Ditjen Imigrasi sejak satu dasawarsa lalu telah memiliki sistem Border Control Management (BCM). Sebagai upaya mengoptimalisasikan fungsi pengawasan perlintasan keluar masuk wilayah Indonesia.

BCM ini terus disempurnakan seiring dengan perkembangan teknologi dan dinamika yang terjadi di perbatasan.

Mungkin hal yang mendesak saat ini adalah mengukur efektivitas BCM dan memperkuat implementasi sinergitas dengan 18 Instansi lainnya.

Bersinergi

Ketiga, permasalahan yang dijumpai di pos lintas batas (PLB) sejak satu dekade silam hingga kini adalah kesulitan untuk memonitor para pelintas batas dikarenakan kondisi geografis, keamanan, letak pos berjauhan, bahkan hanya dapat ditempuh dengan pesawat terbang. Sampai kini pun Ditjen Imigrasi belum memiliki pesawat terbang.

Meski demikian, kendala ini dapat diatasi bila kantor imigrasi di Papua dan Papua Barat, misalnya, bersinergi dengan TNI Angkatan Udara (AU), yang dituangkan dalam MoU. Tentu saja dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan persetujuan kepada Kantor Pusat (Ditjenim) di Jakarta.

Hal lain, adanya persepsi selama ini yaitu pengawasan orang asing seolah menjadi tanggung jawab kantor imigrasi saja. Padahal, merupakan tanggung jawab bersama para pemangku kepentingan terkait.

Untuk pengawasan orang asing selama ini, telah ada pembentukan dan rapat koordinasi tim pengawasan orang asing, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kecamatan di seluruh wilayah Indonesia.

Tim pengawasan orang asing (tim pora) merupakan gabungan dari beberapa Instansi, antara lain pemda setempat, kejaksaan, kepolisian, TNI, Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI, dan Bea Cukai.

Tim pora pun secara berkala telah melaksanakan pertemuan rutin yang membahas persoalan pemantauan dan pengawasan orang asing di wilayah setempat agar pengawasan orang asing tidak menjadi beban di pundak kantor imigrasi saja.

Pada saat rapat berkala tim pora, pihak kantor imigrasi dapat menyampaikan usulan. Saran yang dimaksud adalah bila terdapat pelanggaran perlintasan orang asing, para pemangku kepentingan terkait agar turut hadir dalam konferensi pers secara bersama-sama (3 atau 4 Instansi terkait saja secara bergantian, tidak perlu semua instansi yang terlibat di tim pora) dengan pihak kantor imigrasi.

Memang hal ini belum menjadi suatu kelaziman. Akan tetapi, bukankah ini dapat menberikan ekses yang lebih jauh, yaitu timbulnya persepsi baru bagi khalayak umum dan memunculkan sikap tanggung jawab bersama terhadap persoalan pengawasan perlintasan orang asing di wilayah Indonesia.

Hal lain, selama ini jika terjadi pelanggaran keimigrasian terkait dengan perlintasan orang asing di wilayah perbatasan. Sanksi terhadap pelanggaran tersebut belum dapat memberikan efek jera yang signifikan sehingga pelanggaran keimigrasian di wilayah perbatasan acap berulang.

Sebagaimana yang diketahui bahwa draf Rancangan UU Perubahan atas UU No. 6/2011 tentang Keimigrasian saat ini tengah digarap di DPR RI.

Jika memungkinkan sanksi pelanggaran keimigrasian terkait dengan perlintasan orang asing di wilayah perbatasan, dikaji ulang agar memberikan efek jera yang lebih berdampak, semoga.

*) Fenny Julita, S.Sos.,M.Si. adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.

Baca juga: Satgas amankan pebisnis melintasi batas RI-Timor Leste secara ilegal

Baca juga: Imigrasi Atambua kembali deportasi 76 WN Timor Leste

Copyright © ANTARA 2021