Rumput setebal mata kaki menghampar di seluruh perbukitan yang masih menghijau karena hujan terus turun walau tidak lagi lebat di perbatasan Desa Silawan dengan Distrik Maliana di negara tetangga.

Jalan aspal sempit berbatu lepasan berkelok-kelok menanjak dan menurun cukup jarang digilas ban karet kendaraan menuju desa yang terletak hanya 50 meter dari garis perbatasan negara itu.

Suara sepeda motor tak membubarkan kerumunan burung gereja di tepi jalan dekat pekarangan satu rumah berdinding "bebak" atau jalinan pelepah lontar pada satu siang.

Rumah "bebak" berjendela kaca gelap dikelilingi juntaian rumput liar dan pohon buah seri menjadi tujuan pengendara sepeda motor itu.

"Kaka Hiro ada? Beta mo kasi kecil ini setelan celana komandan beta. Minta tolong pak pasang bet-bet di seragam beta pung komandan ni?," kata seorang lelaki berkulit hitam dengan rambut sangat cepak begitu turun dari sepeda motornya.

Dari potongan tubuh dan sikap serta bahasa tubuhnya, mudah dibaca bahwa orang itu adalah tentara.

Panas siang di Dusun Nanaeklot, Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, itu masih menyengat tubuh sekalipun pohon seri ukuran sedang seolah menyediakan diri menjadi payung bagi manusia yang berdiri di bawahnya.

Lelaki yang datang ke rumah "Kaka Hiro" dan berdiri di bawah pohon seri itu masih memegang beberapa setelan seragam loreng karena yang dicari masih makan siang.

Menengok sedikit ke dalam ruang tamu, satu lukisan besar Bunda Maria dan Kristus Raja serta rosario digantung secara harmonis menjadi hiasan utama di dinding menaungi satu set sofa kecil berlapis kulit imitasi merah tanah.

Beberapa anak usia SD sama-sama menghadapi piring makannya dengan menu makan siang sederhana.

Satu monyet yang dipelihara dalam kurungannya di kiri luar pintu rumah "Kaka Hiro" itu hanya menggapaikan tangan, meminta-minta sesuatu dari lelaki itu untuk dikunyah ke dalam mulutnya yang sungguh dimonyongkan sekali. Kelakuan monyet itu yang berhadapan dengan sikap serius seorang tentara pasti mengundang tawa bagi siapa saja yang menyaksikan.

Beberapa saat menunggu dikawani monyet jantan yang cukup jinak itu, akhirnya "Kaka Hiro" keluar.

"Aihh selamat siang adik. Minta maaf, tadi kaka ada makan dolo, su lapar benar naa? Mana adik pung celana, barangkali kaka bisa bantu," kata "Kaka Hiro" itu dalam bahasa Indonesia dialek campuran Kupang-Atambua.

Tiga celana dan satu baju loreng berpindah tangah dari tangan tentara itu ke tangan "Kaka Hiro". Yang terakhir adalah seorang penjahit kawakan walau tinggal di desa perbatasan negara yang cuma disinggahi listrik pada malam hari; sedang yang pertama adalah personel Batalion Infantri 744/Satya Yudha Bhakti dari Dusun Tobir, Desa Menleten, Kecamatan Wedomu, Kabupaten Belu, Provinsi NTT.

Dari markas batalion itu, dia memerlukan waktu lebih dari satu jam bersepeda motor untuk bisa datang ke rumah "Kaka Hiro" yang bernama lengkap Hieronomus Naabel, usia 47 tahun, asli kelahiran Belu namun masa remajanya banyak dihabiskan di Dili, (bekas) Provinsi Timor Timur yang kini menjadi negara sendiri.

Personel TNI-AD itu bercerita, dia diperintahkan salah satu komandan satuannya untuk menjahitkan insignia satuan-satuan di seragam loreng atasannya itu.

"Sekalian, beta pung komandan kasi perintah supaya celananya ada kasi kecil, bawa contoh katanya," ujar tentara itu. Karena membawa contoh celana yang ukurannya pas, maka sang komandan tidak perlu datang ke rumah kecil namun bersih milik Kaka Hiro itu.

Beberapa belas menit dihabiskan Hiro untuk memenuhi permintaan pelanggannya.

Mulai dari mengukur celana yang pas ukurannya, melepasi jahitan celana loreng yang kebesaran untuk dikecilkan, mencoret sana-sini di celana yang akan dikecilkan, menggunting sana-sini, merakit lagi, dan merapikan bekas-bekas jahitan yang menyembul di sana-sini.

Sampai sempurna memasangi "badge" insignia kesatuan, mulai dari "badge" "Yudha Wastu Pramuka" di bahu kanan, "badge" corak samaran Brigade Infantri 021/Komodo, papan nama, dan tanda-tanda pangkat plus pernik-pernik kecil lain, Hiro hanya perlu waktu sekitar 13 menit saja. Janjinya sebelum memulai pekerjaan sederhana sekali, "Selesai kaka isap rokok, langsung bisa pi pulang beta."

Untuk menjahit seperti itu saja sampai harus keluar-masuk dusun dan desa, Hiro memang telah punya nama sejak belasan tahun lalu, sejak Timor Timur masih dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Salah satu personil Pos Polisi Mota Ain yang berada pas di garis batas negara, menegaskan hal itu, bahwa Hiro tidak usah buka kios di Kota Atambua karena pelangganlah yang pergi mencari-cari dia.

"Bukan berarti Atambua kekurangan penjahit, tapi karena memang jahitan Kaka Hiro lain punya toch? Beda biaya sedikit sa, tapi kita puas pas di badan. Mau lelaki mau perempuan, semuanya puas dengan jahitan Kaka Hiro," kata polisi itu.

Hiro memang bisa menjahit hampir semua jenis baju, mulai dari jas, kemeja, celana panjang dan pendek, bahan-bahan kaus, sampai kebaya berbahan brokat yang licin di meja mesin jahit.

Andalan dia untuk menjahit cuma dua mesin jahit sederhana merek Butterfly yang motor penggeraknya harus berkali-kali diganti karena itulah komponen yang paling mudah rusak serta satu mesin obras yang tidak lagi jelas mereknya. "Itu Jepang asli, kuat mati," katanya.

Dia juga tidak perlu meja besar untuk menggunting atau kamar pas berpenerangan lebih, karena memang hal-hal itu tidak mungkin disediakan di dalam rumah berukuran tujuh kali enam meter persegi itu.

Kehadiran personel Batalion Infantri 744/SYB ke rumahnya bisa dianggap menjadi penanda eksistensi Hiro dalam khazanah jahit-menjahit dan "mode" di Kota Atambua hingga garis perbatasan Indonesia dan Timor Timur itu. Singkatnya, nama Hiro bisa jadi jaminan mutu untuk urusan jahitan busana di sana.


Cap Paspor

Sesuai dengan reputasinya, Hiro juga sering mengecap paspornya di Pintu Lintas Batas Utama Mota Ain.

"Nanti besok beta mo pi ke Dili, jahit seragam tiga sekolah di sana, satu sekolah SD dua SMA. Belakangan banyak sekolah lomba-lomba bikin baik seragamnya. Mungkin beta pi dua minggu di Dili," kata ayah tiga anak itu.

Di negara tetangga itu, Hiro tidak usah membawa-bawa mesin jahit karena sudah disiapkan pihak pengundang, pun pemondokan dan makan.

"Beta cuma bawa gunting dan dua anak buah untuk kasi ukur masing-masing anak," katanya. Rokok nyaris tidak pernah lepas dari bibirnya sehingga asap mengepul dalam kepekatan berbeda selalu sesuai kata-kata yang dia ucapkan.

Satu setelan seragam, katanya, diberi harga 60 dolar Amerika Serikat karena dia juga menyediakan bahan-bahannya. Bahan kain baju dan celana serta kancing-kancing dia beli dari Kota Atambua, Kupang, atau malah Surabaya.

Dari kota terbesar kedua di Indonesia itu, dia bisa mendapat material dengan harga paling miring walau waktu yang diperlukan mulai dari memesan sampai tiba di tangan bisa lebih lama. Motif dan jenis bahan seragam sekolah itu bermacam-macam dan hampir semuanya bisa disediakan di sana.

Bukan hal sulit untuk mendapat itu semua walau dipesan dari dusun di garis perbatasan negara. "Beta minta pesan lewat HP ini," katanya menunjukkan telepon genggam sederhana berlayar monokrom. Bahkan, beberapa instansi di negara itu juga mengorder seragamnya dari Jakarta dan Surabaya.

Dua pekan di Dili, katanya, cukup untuk menyelesaikan penjahitan seragam tiga sekolah yang jumlah siswa secara keseluruhan mencapai 1.600 orang itu. Hiro memang telah sangat berpengalaman karena dia telah sering mendapat kontrak menjahit seragam dalam jumlah jauh lebih besar lagi.

"Entah mengapa beta sering diminta datang ke sana, bisa ke Dili, Baukau, Maliana, atau kota-kota lain untuk menjahit. Beta kurang tahu. Di sana juga ada banyak penjahit baik. Tuhan kasi beta talenta menjahit, beta senang bisa bikin orang senang lewat baju yang beta jahit," katanya dari wajah kehitaman khas wajah warga setempat.

Negara Timor Timur memang tengah berbenah dalam berbagai dimensi kehidupan bernegara dan berbangsa.

Masa-masa kritis untuk menyatukan semua faksi yang ada di negara muda itu sering muncul silih berganti sampai akhirnya disepakati menghentikan semua hal itu. "Hapara Violencia" dalam bahasa Tetum alias "Hentikan Kekerasan" menjadi slogan umum di mana-mana.

Masyarakat di Desa Silawan yang lokasinya sangat dekat dengan Desa Mota Ain banyak yang semula adalah eksodan dari (bekas) Provinsi Timor Timur.

Bahkan banyak kisah seram tentang buru-memburu di antara anggota kelompok yang saat itu saling bertikai bersenjata api dan tajam pada empat tahun pertama sejak eksodus terjadi pada 1999.

Maklum saja, letak desa yang cukup padat penduduknya itu persis berhimpitan dengan garis perbatasan. Bahkan ada satu penggal jalan aspal Desa Silawan yang cuma lima meter dari garis resmi perbatasan negara!

Betapa keras alam kering berbatu atau banjir bandang membentuk karakter manusianya sangat mudah dirasakan. Satu rumah "bebak" yang mulai lusuh beralas tanah di muka rumah Hiro berisikan satu keluarga kecil juga ditingkahi tulisan besar-besar berwarna merah sebagai gambaran hal itu: "Gubuk Deritaku".

Masa berganti dan kini satu hal yang sangat disadari bagi pemerintahan dan masyarakat negara tetangga itu adalah pendidikan bagi generasi muda, baik secara formal ataupun informal sudah menjadi keniscayaan bagi mereka.

Agar bisa menuju ke sana maka diperlukan sejumlah pendukung, di antaranya baju seragam yang dapat menyemangati dan menggairahkan atmosfir belajar-mengajar di sekolah-sekolah.

Menjahit baju-baju seragam siswa sekolah hanya satu dari sekian banyak pekerjaan yang menunggu dia di Timor Timur. Tiap datang ke sana, bisa dipastikan sudah ada pesanan ekstra berupa jahitan baju-baju resmi bahan batik, kain tenun, celana panjang, sampai jas dan kebaya serta baju santai.

"Beta syukuri semuanya. Gunting dan mesin jahit jadi teman dan alat beta dari Yesus Tuhan untuk kasi bae sodara-sodara beta. Beta senang," katanya. (A037/Z003/K004)

Oleh Ade P Marboen
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011