Kita tahu bahwa "long COVID-19" juga punya aspek ekonomi dan asuransi kesehatan, khususnya apakah keluhan yang ada akan dapat ditanggung asuransi atau akan dapat menjadi alasan untuk gangguan pekerjaan yang akan dialami pasiennya

Jakarta (ANTARA) - Gejala berkepanjangan atau "long COVID-19" di tengah situasi pandemi yang kian surut perlu menjadi perhatian dalam upaya penyediaan sarana prasarana perawatan kata pakar ilmu kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Prof Tjandra Yoga Aditama.

"Kita tahu bahwa 'long COVID-19' juga punya aspek ekonomi dan asuransi kesehatan, khususnya apakah keluhan yang ada akan dapat ditanggung asuransi atau akan dapat menjadi alasan untuk gangguan pekerjaan yang akan dialami pasiennya," katanya dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Guru Besar Paru FKUI itu mengatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengumpulkan pendapat para pakar dari berbagai negara dalam bentuk Konsensus Delphi untuk membuat definisi keadaan "long COVID-19" dan dipublikasi pada 6 Oktober 2021.

Ia mengatakan penyintas kerap kali mengeluh berbagai gejala yang cukup berkepanjangan sesudah dia dinyatakan sembuh dari COVID-19, ada yang beberapa pekan bahkan sampai beberapa bulan setelah pulih.

Dalam publikasi WHO, kata dia, disebutkan bahwa pengertian tentang "long COVID" yang disebut sebagai “Post COVID” atau dalam bahasa Indonesia dipakai istilah pasca-COVID.

Tjandra mengatakan kondisi long COVID dapat terjadi pada seseorang dengan status probable atau terkonfirmasi COVID-19. Biasanya keluhan terjadi sesudah tiga bulan dari awal gejala dengan keluhan yang berlangsung setidaknya dua bulan.

"Tidak dapat diterangkan penyebab keluhannya selain yang mungkin sebagai pasca-COVID-19 ini. Gejala yang biasa timbul adalah rasa lemah atau “fatigue”, sesak napas dan gangguan kognitif yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari," katanya.

Tjandra mengatakan keluhan yang dirasa pun bervariasi, seperti nyeri perut, gangguan menstruasi, gangguan penciuman atau pengecap, gelisah, penglihatan kabur, nyeri dada, batuk, depresi, pusing dan demam yang hilang timbul.

Gejala lain dapat juga berupa gangguan saluran cerna, baik diare maupun konstipasi dan “acid reflux”, juga bisa sakit kepala, gangguan memori, nyeri sendi, nyeri otot, neuralgia, bentuk alergi baru, gangguan tidur, berdebar debar dan juga telinga berdenging atau gangguan pendengaran lainnya.

"Gejalanya bisa bersifat baru muncul atau langsung muncul sesudah pulih dari keadaan akut serangan COVID-19 dan bisa juga menetap sejak awal sakit COVID-19 sampai beberapa bulan kemudian," katanya.

Ia mengatakan gejala dan keluhan berat maupun ringan bersifat fluktuasi bahkan dapat kambuh dalam waktu tertentu.

Untuk itu, ia memberi masukan agar rumah sakit dan puskesmas menyediakan klinik pasca COVID-19. "Sekarang tampaknya sudah dimulai di beberapa rumah sakit. Pasien yang sudah sembuh dari COVID-19 dan masih mengalami berbagai keluhan akan dapat dilayani dengan baik di klinik pasca-COVID-19 ini," katanya.

Selain itu, ia juga mendorong perlu dilakukan berbagai penelitian tentang long COVID, baik yang bersifat penelitian ilmiah dasar dalam aspek biomolekuler dan juga penelitian klinik terapan, termasuk menemukan cara penanganan dan pengobatan terbaik.

"Dari kacamata ekonomi kesehatan, harus ada mekanisme keuangan agar pasien long COVID-19 dapat terus mendapat penangangan medis dengan baik tanpa harus terbebani biaya yang tidak dapat dia tanggung, ini sesuai dengan prinsip “Universal Health Care (UHC)” yang dianut dunia," demikian Tjandra Yoga Aditama.

Baca juga: Studi: Long COVID pengaruhi 1 dari 7 anak 15 minggu setelah positif

Baca juga: Perhimpunan dokter paru minta masyarakat waspadai gejala "Long Covid"

Baca juga: Asuransi global mulai buat pembatasan, khawatir pandemi berkepanjangan

Baca juga: Alami gejala Long COVID, penyintas imbau pencegahan lebih baik


Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021