"Di dalam RKUHP kita ke depan pidana mati disebutkan sebagai salah satu jenis pidana yang bersifat khusus," kata dia, di Jakarta, Senin.
Penempatan pidana mati diatur dalam ketentuan tersendiri di luar pidana pokok. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 73 menunjukkan bahwa jenis pidana mati sebagai upaya terakhir mengayomi masyarakat karena pada hakikatnya pidana mati bukanlah sarana utama untuk mengatur dan memperbaiki namun hanya pengecualian.
Baca juga: Kemenkumham: Menyusun KUHP di negara penuh ragam bukan perkara mudah
Pada Pasal 109 pencantuman hukuman tersebut tidak berdiri sendiri, namun diancamkan secara alternatif dengan pidana perampasan kemerdekaan terpidana, yakni berupa penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun kurungan penjara.
Penerapan pidana mati hanya dikenakan untuk pidana tertentu. Artinya, hukuman tersebut hanya berlaku bagi kejahatan berat, misalnya makar, pembunuhan berencana, korupsi, narkotika, tindak pidana berat HAM, dan terorisme.
Selanjutnya, kata dia, penjatuhan ancaman pidana mati diterapkan secara bersyarat (penundaan pelaksanaan hukuman mati). Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 111.
Baca juga: F-NasDem: RUU Perampasan Aset lebih bermanfaat daripada hukuman mati
Pelaksanaan hukuman tidak dilakukan serta merta akan tetapi melalui masa percobaan paling lama 10 tahun kurungan penjara. Selama kurun waktu itu terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri.
Jika terpidana mati dapat memperbaiki diri, maka hukuman mati tidak perlu dilakukan dan bisa diganti dengan perampasan kemerdekaan terpidana.
Baca juga: KPK dalami penerapan pasal ancaman pidana mati terkait kasus Mensos
Secara umum, ujarnya, ancaman pidana mati masih dipertahankan di RKUHP yang didasarkan pada upaya perlindungan masyarakat atau lebih menitikberatkan pada kepentingan publik.
Akan tetapi, paparnya, pengaturan pidana mati dalam RKUHP bersifat selektif, hati-hati, dan berorientasi jauh pada perlindungan kepentingan pelaku tindak pidana.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021