Mamuju Sulbar (ANTARA News) - Wakil Presiden Boediono mengatakan, untuk mewujudkan impian Indonesia menjadi produsen kakao nomor satu, perlu kerja keras semua pihak.
Selain itu Indonesia juga harus bisa membangun industri pengolahan kakao, kata Wapres saat melakukan dialog dengan sejumlah petani kakao se-Propinsi Sulawesi Barat, di Kabupaten Mamuju, Jumat.
Menurut Wapres, selama ini industri pengolahan kakao lebih banyak dikerjakan oleh negara lain.
"Kita jangan berhenti hanya pada mengekspornya, tetapi kita harus bisa membangun industri pengolahannya. Ini merupakan nilai tambah yang harus kita raih," katanya.
Dengan begitu, dana yang semula berada di luar negeri bisa kembali ke kas negara dan bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitas melalui rehabiltasi, revitalisasi, intensifikasi dan pembangunan infrastruktur pendukung industri kakao, kata Boediono.
"Kerja sama dilandasi saling pengertian dan Gerakan Nasional Kakao tidak sekadar menanam dan meningkatkan produksinya. Kita juga harus dapat membangun sebuah industri ekonomi kakao yang lebih utuh," tambah Wapres.
Pada temu wicara yang dilaksanakan di Desa Sondoang, Kecamatan Kalukku itu Wapres didampingi beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu II dan Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh.
Sementara Gubernur Anwar mengatakan, Sulawesi merupakan produsen terbesar kakao secara nasional khususnya Sulawesi Barat.
"Indonesia merupakan produsen terbesar kedua kakao setelah Pantai Gading. Secara nasional Sulawesi menyumbang 72 persen produksi kakao, dan khusus Sulawesi Barat menyumbang 24 persen," katanya.
Anwar menambahkan, kakao telah memberikan kontribusi bagi kesejahteraan rakyat Sulawesi.
"Sekitar 71 persen kesejahteraan rakyat berasal dari kakao. Dari 80 persen petani di Sulawesi, 64 persen adalah petani kakao," katanya.
Dalam dialog itu, Wapres didampingi Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Pendidikan Muhammad Nuh, Menteri PU Djoko Kirmanto, Menteri Negara PDT Helmy Faizal Zainy dan Wakil Menteri Pertanian Bayu Khrisnamukti.
(R018)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011