Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menilai pemohon uji materi UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya tak memahami Undang-undang (UU) Nomor 22 tahun 2009 secara benar dan komprehensif.
"Permohonan pemohon tidak jelas, tidak tegas dan kabur, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan kewenangan konstitusional atas ketentuan yang dimohonkan," kata Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Suroyo Alimoeso, saat sidang uji materi UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Kamis.
Hal ini menanggapi permohonan yang diajukan oleh Pengamat Transportasi M Husain Umajohar yang menyatakan bahwa UU tersebut sangat berbahaya bagi publik, khususnya masyarakat pemakai jalan maupun pengguna jasa angkutan umum jika diimplementasikan.
Pengamat Transportasi ini juga menganggap UU tersebut sangat bertentangan dengan sistem transportasi nasional yang bisa memicu terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan.
Dalam permohonannya Husain menyatakan pasal 7 ayat (2), pasal 60 ayat (4), pasal 71 ayat (1), pasal 93 ayat (3), pasal 96 ayat (4) (5) (6), pasal 134 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan raya tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Atas permohonan ini, Suroyo mengatakan bahwa ketentuan pasal 7 ayat (2) yang memberikan kewenangan "rigedent ranmor (kendaraan bermotor)" dan penerbitan SIM kepada polisi dapat dimaknai sebagai penjaga keamanan masyarakat melalui tugas pemberian perlindungan dan pengayoman sebagaiman ditentukan dalam pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Dirjen Perhubungan Darat ini juga mengatakan pemohon memahami secara salah ketentuan pasal 60 ayat (4) yang menyatakan kepolisian ikut serta mengatur bengkel umum.
"Dalam pasal 60 ayat (4) ini kepolisian hanyalah memberikan pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam memberikan izin kepada bengkel umum yang akan ditunjuk sebagai pelaksana uji berkala ranmor angkutan umum," katanya.
Sementara kewajiban pemilik ranmor yang melakukan perubahan spesifikasi teknis dan fungsi ranmor harus melapor ke kepolisian sebagaimana diatur pasal 71 ayat 1 dimaknai sebagai tugas perlindungan dan pengayoman.
Tentang pemberian kewenangan kepolisian terlibat dalam perencanaan teknik sipil yang diatur dalam pasal 96 ayat (3) sebagai salah satu rincian Analisis Dampak Lalu Lintas yang disyaratkan pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengeluarkan pemberian izin pendirian mall dan pemukiman yang berpotensi menimbulkan gangguan.
Suroyo juga menguraikan ketentuan pasal 134 yang mengatur pemberian hak utama konvoi dan kendaraan kepentingan tertentu.
Menurut dia, pasal 134 ini hanya membatasi terhadap kendaraan pemadam kebakaran, ambulans, pertolongan pada kecelakaan, pimpinan lembaga negara, iringan jenasah dan kendaraan kepentingan menurut pertimbangan kepolisian, seperti penanganan ancaman bom, pengangkutan pasukan, penanganan huru-hara serta penanganan bencana alam.
"Jadi petugas polisi lalu lintas dalam memberikan pertimbangan untuk diberikan hak utama tetap dibatasi untuk kepentingan masyarakat bukan kepentingan individu atau kelompok," katanya.
Dengan demikian pemerintah majelis hakim menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, tegas Suroyo.
(J008)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011