Tanjungpinang (ANTARA) - Zaman sudah berubah. Kemajuan teknologi yang mengakar pada kebutuhan dan kondisi masyarakat mendorong cara-cara konvensional ditinggalkan.
Efisiensi, cepat, murah dan optimal mendorong perubahan tersebut. Bahkan kini sebagian kebutuhan masyarakat sekarang dapat dipenuhi hanya dengan menggunakan aplikasi yang disediakan oleh ratusan penyedia jasa, tanpa harus melakukan transaksi secara konvensional.
Pengemudi yang memasuki tol di Jakarta dan Jawa, menggunakan kartu e-money, yang dapat diisi di ATM maupun swalayan ternama, yang sudah ditetapkan.
Banyak sekolah swasta juga menggunakan aplikasi khusus untuk pembayaran Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP). Orang tua hanya perlu membuka aplikasi khusus yang disiapkan pihak sekolah, kemudian memilih SPP bulan berapa yang akan dibayar. Pembayaran SPP itu pula dilakukan dengan menggunakan e-money pada aplikasi "mobile banking".
Di sisi lain, dunia pendidikan mengalami perubahan pesat, terutama di masa pandemi COVID-19. Para pengajar tidak mengajar di ruang kelas di sekolah, melainkan ruang kelas dunia maya melalui berbagai aplikasi yang ada, seperti Zoom dan Google Meeting.
Penerapan absensi dengan menggunakan aplikasi tertentu juga diterapkan di pemerintahan. Dari absensi ini, para kepala dinas dan kepala daerah dapat memantau kinerja bawahannya.
Kemajuan teknologi juga mendorong negara menerapkan sistem digitalisasi perijinan terpadu dengan tujuan memudahkan para pengusaha memperoleh ijin, dan mencegah tindakan koruptif akibat transaksi langsung.
Pembelian makanan dan minuman juga tidak melulu harus ke rumah makan atau swalayan. Transaksi dapat dilakukan melalui sejumlah aplikasi yang dikelola perusahaan penyedia jasa pembelian dan pengantaran barang.
Sejumlah perusahaan jasa informasi transportasi bekerja sama dengan pemilik kendaraan untuk mengantarkan penumpang. Melalui aplikasi Gojek, Grab, dan Maxim, penumpang dapat berkomunikasi dengan sopir kendaraan, dan mengetahui biaya jasa pengantaran. Pembayaran pun dapat dilakukan melalui "mobile banking".
Pembelian dan pembayaran tiket pesawat juga sudah menerapkan hal yang sama sejak beberapa tahun yang lalu. Pemesanan kamar hotel juga sudah dapat dilakukan melalui aplikasi, seperti traveloka.
Hampir seluruh aktivitas masyarakat dan pemerintah menggunakan fasilitas buah dari kemajuan teknologi.
Presiden Joko Widodo saat membuka Virtual Innovation Day 2021, yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan beberapa hari lalu mengatakan, perkembangan digital mendorong munculnya berbagai penyelenggara "fintech", dan inovasi teknologi dalam berbagai sektor strategis. Menurut presiden, perkembangan digital harus disikapi dengan cepat dan tepat.
Bagaimana pula dengan pelaksanaan pemilu di Indonesia?
Tahapan dalam pemilu serentak tahun 2019 dan pilkada serentak tahun 2020 tidak seluruhnya menggunakan teknologi. Hampir seluruh tahapan pemilu menggunakan cara konvensional.
Masyarakat di masa pandemi COVID-19 yang khawatir bersentuhan dengan barang, terpaksa harus memegang surat suara, pena, dan jarinya dicelup tinta sebagai tanda sudah mencoblos.
Proses penghitungan suara hingga rekapitulasi suara pun dilakukan secara manual, kemudian dimasukkan ke aplikasi e-rekap (Sirekap).
Sistem digitalisasi pada tahapan rekapitulasi pun belum menjadi standar baku rekapitulasi yang sah, melainkan hanya sebatas alat bantu dan alat publikasi. Rekapitulasi secara manual atau konvensial masih diandalkan dalam merekapitusi perolehan suara peserta pemilu dan pilkada.
Pengamat politik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Bismar Arianto berpendapat, untuk meyederhanakan pelaksanaan pemilu serentak adalah melalui pemanfataan teknologi.
Salah satu tahapan yang menjadi perhatian publik dalam penyelenggaraan pemilu serentak 2019 adalah panjangnya rantai birokrasi perhitungan dan rekapitulasi suara. Proses ini dilakukan secara manual berjenjang dari TPS hingga nasional.
Mulai dari perhitungan Suara di TPS oleh KPPS pada 17-18 April 2019, selanjutnya rekapitulasi suara di kecamatan oleh PPK tanggal 18 April - 4 Mei 2019, rekapitulasi suara di KPU Kabupaten/Kota tanggal 22 April-7 Mei 2019, kemudian rekapitulasi suara di KPU Provinsi tanggal 22 April-12 Mei 2019 dan terakhir rekapitulasi suara nasional di KPU RI tanggal 25 April-22 Mei 2019.
Tahapan perhitungan dan rekapitulasi suara dalam pemilu serentak ini memerlukan waktu lebih dari satu bulan. Proses manual dan berjenjang ini menguras energi yang besar penyelenggara termasuk juga publik yang terbelah.
Lamanya proses perhitungan, rekapitulasi dan penetapan hasil pemilu ini berdampak pada psikologi massa yang berujung pada isu-isu negatif terhadap penyelenggaraan pesta demokrasi. Semua tahapan perhitungan dan rekapitulasi yang berbasis manual ini menjadi tekanan yang kuat pada penyelenggara karena adanya tuntutan publik untuk mengetahui hasil pemilu secara cepat, ditambah dengan pemanfataan media sosial yang masif dalam menggiring opini publik.
Lamanya proses ini menimbulkan kecurigaan masyarakat sehingga terpengaruh dan menelan berbagai isu yang berkembang. Akibatnya, sebagian masyarakat tidak percaya dengan penyelenggara pemilu, dan melakukan aksi unjuk rasa," ujarnya, yang juga mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMRAH.
Baca juga: Pakar: Perlu regulasi e-Voting terkait pengamanan data Pemilu 2024
E-rekap
Sebenarnya, KPU sudah mulai memanfaatkan teknologi untuk melakukan rekapitulasi C1 yang di-scan dan ditampilkan di website KPU dalam bentuk tabulasi melalui Situng (Sistem Penghitungan), tetapi situng hanya sebagai media keterbukaan informasi KPU terhadap masyarakat saja dan bukan merupakan hasil resmi pemilu.
Menguat wacana agar dalam pemilu mulai menggunakan teknologi sebagai sebuah proses resmi dalam menentukan hasil pemilu. Dalam Pilkada Serentak 2020 ada wacana untuk menggunakan sistem rekapitulasi elektronik (e-rekap). Hal ini sudah dimulai dari rancangan PKPU Pilkada Serentak 2020 yang memasukkan tentang e-rekap.
Pelaksanaan e-rekap ini tentu bisa memangkas panjangnya birokrasi pemilu yang manual berjenjang dari TPS hingga nasional, ada lima tahapan yang dilakukan dari proses perhitungan ke rekapitulasi yang membutuhkan waktu lebih dari satu bulan. Teknisnya e-rekap mulai dari TPS langsung ke rekapatulisasi Kabupaten/Kota, dilanjutkan provinsi dan level nasional.
Melalui pola ini tentu sebagian besar tahapan perekapan bisa dipangkas sehingga waktu rekapitulasi bisa lebih cepat. E-rekap berjalan dengan baik harus didukung oleh sistem informasi dan teknologi, selain itu juga harus didukung oleh keberadaan saksi dari peserta pemilu.
Melalui data per TPS yang dimiliki oleh saksi peserta pemilu bisa menjadi kontrol terhadap e-rekap serta menimalisir komplain dari peserta pemilu. Persoalannya tidak semua peserta pemilu mampu menyediakan dan membiayai saksi per TPS karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk saksi.
Besarnya biaya saksi ini bisa diatasi dengan membebankan pembiayaanya pada negara. Sehingga semua peserta pemilu memiliki saksi.
Secara lebih progresif untuk pemilu kedepan perlu dikaji dan rancang pemilu dengan menggunakan e-voting.
Defenisi lain menegaskan bahwa e-voting adalah sistem dimana pencatatan, pemberian suara atau pemilihan suara dalam pemilu politik dan referendumnya melibatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Secara lebih teknis dikemukan oleh Orhan Cetinkaya dan Deniz Cetinkaya mengungkapkan bahwa “E-voting refers to the use of computers or computerised voting equipment to cast ballots in an election”, yang menyatakan e-voting. Berangkat dari penjelasan ini maka e-voting adalah proses pemilihan yang menggunakan teknologi, baik secara keseluruhan atau sebagian tahapan mulai dari memilih, perhitungan dan rekapitulasi suara yang dibantu dengan tekonologi atau elektronik.
Berdasarkan pengalaman negara lain dalam pelaksanaan e-voting dapat dikelompokan menjadi dua. Pertama, model perhitungan dengan mesin scan, pada model ini pemilih tetap memilih secara konvensional dengan cara memberi tanda khusus dikertas suara, kemudian dihitung melalui mesin scan. Model ini kenal dengan Optical scanning atau optical scan voting.
Kedua, semua tahapan pemilihan dilakukan secara elektronik mulai dari memilih, penyimpanan, perhitungan dan rekapitulasi suara dilakukan secara elektronik.
Pertanyaan apakah e-voting dapat digunakan dalam pemilu serentak di Indonesia. Pada lingkup yang lebih kecil sejumlah desa di Indonesia sudah pernah melakukan e-voting dengan bantuan teknologi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Merujuk dari pengalaman pilkades ini sangat mungkin kedepan dalam skala yang lebih besar e-voting untuk dilakukan, tentu harus berpijak pada hasil kajian yang komprehrensif.
Hal lain yang mendukung pelaksanaan e-voting adalah banyaknya penguna internet di Indonesia. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2018 sebanyak 171,17 juta jiwa menggunakan internet, dengan sebaran di Pulau Jawa 55,7 persen, Pulau Sumatera 21,6 persen, Pulau Kalimantan 6,6 persen, Sulawesi, Maluku dan Papua 10,9 persen serta Bali dan Nusa Tenggara 5,2 persen.
Baca juga: Anggota Bawaslu: e-Voting pemilu atau pilkada masih sulit diterapkan
Kandas
KPU RI menganggap e-voting bukan kebutuhan prioritas, termasuk tahapan lainnya, kecuali tahapan rekapitulasi. Ketua KPU RI, Ilham Saputra, menyatakan kebutuhan pemilu berdasarkan pengalaman sebelumnya, bukan e-voting, melainkan e-rekap.
Digitalisasi pemilu harus disesuaikan dengan kebutuhan untuk mendukung penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, efektif dan optimal.
Menurut dia e-rekap menutup kemungkinan terjadi kecurangan. Pertama kali dilaksanakan pada pilkada serentak tahun 2020. Hasilnya, cukup memuaskan.
Hasil pemungutan suara yang masuk ke sistem e-rekap mencapai 60 persen pada hari pertama pemungutan suara. Pelanggaran yang terjadi saat pilkada terkait rekapitulasi juga tidak signifikan.
Kendala yang terjadi dalam pelaksanaan e-rekap yakni jaringan internet yang kurang memadai, terutama di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Kondisi ini masih ditemukan di Pulau Jawa, Sumatra dan Papua.
Anggota Badan Pengawas Pemilu Provinsi Kepulauan Riau (Bawaslu Kepri) Indrawan menyebut regulasi sistem rekapitulasi secara elektronik (e-rekap) perlu dipertegas untuk kepentingan penyelenggaraan pemilu.
E-rekap atau aplikasi Sirekap yang dipergunakan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) hanya sebatas alat bantu atau publikasi. Jika terjadi selisih suara hasil penghitungan manual dengan data yang dimasukkan ke dalam sirekap, maka penghitungan ulang dilakukan secara manual.
Pelaksanaan e-rekap semestinya dapat dibenahi, mulai dari ketersediaan fasilitas internet, perangkat, salah input data hingga pelaksanaannya. Itu kendala-kendala yang ditemukan pada pilkada serentak tahun 2020, dapat dievaluasi, dan diperbaiki untuk kepentingan Pemilu serentak 2024.
Desain tahapan pemilu serentak juga dapat diperbaiki, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Apalagi regulasi untuk pilkada serentak dan pemilu serentak tahun 2024 sama seperti periode sebelumnya yakni UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada dan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu.
Penyelenggara pemilu lebih banyak waktu untuk mengatur strategi dan melaksanakan tahapan-tahapan pemilu dan pilkada, tidak seperti pesta demokrasi sebelumnya, yang harus menunggu regulasi untuk melaksanakan tahapan pilkada dan pemilu.
Namun ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, contohnya, tahapan kampanye tidak perlu terlalu lama, karena peserta pemilu maupun pilkada lebih banyak memanfaatkan media sosial sebagai sarana kampanye. Regulasi terkait kampanye di media sosial juga perlu dipertegas.
Baca juga: KPU RI monitoring evaluasi e-Coklit pemilu di Makassar
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021