Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber dari CISSReC, Dr Pratama Persadha, memandang perlu pemerintah segera melakukan moratorium perizinan pinjaman online (pinjol) setidaknya untuk menertibkan aturan main dan edukasi tentang pinjol resmi kepada masyarakat.

"Dengan adanya moratorium ini, kami berharap pemerintah bisa merapikan urusan pinjol sekaligus melakukan edukasi tentang pinjol resmi," kata dia, melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Sabtu pagi, ketika merespons rencana pemerintah melakukan moratorium penerbitan izin penyelenggara pinjaman daring tersebut.

Aturan main terkait dengan pinjol ini, kata dia, juga harus disesuaikan dengan UU tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) yang hingga sekarang pembahasan RUU ini sedang digodok di Komisi I DPR.

Baca juga: Kriminal kemarin, direktur TV ditangkap hingga penjiplakan merek

Ia memandang penting ketentuan itu ada di dalam UU PDP, apalagi Presiden Jokowi menekankan bahwa tata kelola pinjol harus mendapat perhatian karena lebih dari 68 juta orang yang ikut dalam aktivitas kegiatan teknologi finansial atau financial technology dia.

"Ditambah lagi, informasi terkait dengan omzet atau perputaran dana yang ada di dalamnya lebih dari Rp260 triliun," kata dia, yang juga ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC.

Menurut dia, masalah utamanya adalah pinjol yang beredar di Tanah Air sebagian adalah pinjol ilegal yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Akibatnya, secara regulasi mereka abai dan memberikan bunga yang sangat tinggi bagi masyarakat.

Baca juga: Kemarin, neraca perdagangan RI surplus lagi hingga bunga rendah pinjol

"Malah ada yang menentukan bunga 2 persen per hari, artinya dalam 2 bulan saja nilai utangnya lebih dari dua kali lipat. Tentu ini melanggar aturan main OJK dan Bank Indonesia (BI)," ujarnya.

Selain itu, kata dia, yang cukup berbahaya adalah praktik pinjol ilegal yang melanggar privasi dan menggunakan data pribadi nasabahnya seenaknya.

Meskipun belum ada UU PDP, menurut dia, prinsip-prinsip dan norma hukum banyak yang mereka tabrak. Misalnya, mengirimkan pesan kepada semua kontak nasabah bahwa nasabah belum membayar utang. Bahkan, sebagian besar kontak yang ada di smartphone nasabah pinjol ilegal ditelepon dengan kata-kata kasar.

Baca juga: Kisah mereka yang terjebak pinjaman online ilegal

Dari hasil penggerebekan oleh Polri, diketahui banyaknya ancaman dilakukan oleh pihak pinjol. Bahkan, ada yang tertangkap basah mengirimkan berbagai konten porno ke nomor WA nasabah. Hal ini, menurut dia, berpotensi melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU Pornografi.

"Yang sangat mengkhawatirkan dari pinjol ilegal adalah penyalahgunaan data pribadi dengan mengakses secara 'paksa' ke kontak nasabah," kata pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.

Walaupun nasabah ada yang diberi tahu sebelumnya, kata Pratama, tetap saja ini bukan praktik yang 'normal' dan taat hukum. Praktik ini malah mencederai kemanusiaan yang beradab.

Baca juga: Polri: Penyelidikan kasus pinjol punya karakter berbeda

Ia juga memandang perlu pemerintah melakukan berbagai pengecekan kembali pada pinjol legal yang beredar apakah mereka benar-benar bekerja sesuai dengan aturan atau tidak. Misalnya, apakah ada kerja sama pinjol resmi dengan pinjol ilegal, terutama terkait dengan sharing data.

Di samping itu, juga harus dicek dan dipastikan keamanan siber pada setiap pinjol resmi yang legal. Hal ini, kata dia, jangan sampai terjadi sistem yang lemah memunculkan utang fiktif dengan menggunakan identitas orang lain.

Baca juga: Pemerintah akan moratorium penerbitan izin pinjaman daring

"Ini penting karena sekarang ini banyak beredar foto masyarakat dengan selfie KTP yang ini jelas sangat berbahaya. Seharusnya sistem di pinjol resmi yang legal bisa mendeteksi ajuan palsu semacam ini," katanya.

Ia menekankan, pinjol resmi harus punya pengamanan sistem informasi yang jauh lebih baik. Selain itu, jangan sampai pinjol resmi juga mempraktikkan hal-hal yang identik dengan pinjol ilegal.

Pewarta: DDj Kliwantoro
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021