Gorontalo (ANTARA News) - Lempar batu sembunyi tangan, demikian gelar yang disematkan kepada Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail setelah melempar wacana referendum kepada publik, 11 Februari 2011 kemarin.
Referendum sebagai solusi dari gubernur untuk meredam polemik soal penambangan emas di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), justru menjadi bibit masalah baru.
Selain terkesan hanya pencitraan politik, tawaran tersebut juga dianggap sebagai upaya cuci tangan secara halus oleh pemerintah, agar bebas dari kecaman terhadap alih fungsi hutan.
Emas di TNBNW memang sudah lama diintai investor. Namun, selama kepemimpinan Fadel Muhammad sebagai Gubernur Gorontalo, jelas sudah siapa investor yang "mengendap-ngendap" dan tak lain adalah anak perusahaam Bakrie Group.
Tahun 2010, upaya mewujudkan penambangan di Gorontalo makin mulus. Dua Surat Keputusan (SK) berturut-turut dari Menteri Kehutanan adalah buktinya. Yang pertama SK.234/Menhut-II/2010 tentang alih fungsi sebagian kawasan TNBNW dan SK No.673/210 yang memberi izin pinjam pakai kepada PT. Gorontalo Minerals untuk eksplorasi tambang emas.
"Mengusulkan referendum sungguh menggelikan. Selain acuan yuridisnya tidak jelas, juga terkesan berkelit dari tanggungjawab," kata aktivis lingkungan, Rio Ismail.
Menurut mantan Deputi Direktur Nasional WALHI itu, penambangan di TNBNW sudah jelas mengancam keberlanjutan sistem kehidupan dan keselamatan banyak orang. "Ini sama saja dengan meminta publik untuk memilih minum racun atau tetap hidup," tambahnya.
Referendum tak diperlukan bila gubernur memiliki itikad baik menyelamatkan TNBNW dan masyarakat dari ancaman bencana akibat penambangan. Yang harus dilakukan, kata dia, adalah memperbaiki kembali usulan revisi RTRW Provinsi Gorontalo, sehingga bisa menghapus usulan alih fungsi kawasan serta membatalkan izin pinjam pakai.
Tindakan tersebut dimungkinkan, karena Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mempersyaratkan bahwa penataan ruang harus didasarkan atau diawali dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLSH).
Dengan demikian, yang lebih penting dilakukan adalah KLSH seperti amanat undang-undang dan bukan pendekatan Anslisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seperti yang dilakukan saat ini.
Ia menguraikan, KLSH justru bisa digunakan untuk memetakan kondisi aktual. Jika dilakukan dengan benar, maka alih fungsi TNBNW dengan sendirinya tidak akan memenuhi prasyarat ekologis. ?AMDAL hanya menelaah kelayakan sebuah proyek dan belum tentu mampu mencegah kerusakan atau dampak terhadap lingkungan,? tandasnya.
Alasan Menambang
Alih fungsi TNBNW, tak lepas dari sentuhan Fadel Muhammad selama menjabat Gubernur Gorontalo. Dengan berlindung dibalik kerusakan ekosistem di taman nasional tersebut, Fadel gemar mengkampanyekan tambang emas sebagai solusinya.
Bahkan aktivitas 10.000 penambang tanpa izin di kawasan tersebut dan dampak yang ditimbulkannya, menjadi alasan kuat untuk segera memulai penambangan emas oleh investor. Alasan tersebut terus menjadi tameng, hingga kepemimpinan Gusnar Ismail saat ini.
Namun, polemik tambang emas semakin bergulir dan masyarakat semakin bingung. Bingung harus memilih "kesejahteraan" yang dijanjikan pemerintah, atau bencana yang siap mengancam hidup mereka. Hingga lahirlah wacana untuk melakukan referendum.
"Daripada terus berdebat, lebih baik referendum saja. Jadi masyarakat bisa menyatakan setuju atau tidak dengan penambangan emas tersebut," kata Gusnar.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Gorontalo, Winarni Monoarfa mengatakan kalau penambangan tidak dikelola dengan baik, maka dampak lingkungan yang ditimbulkan akan semakin besar.
"Tanpa dialihfungsikan pun, perambahan hutan dan penambangan liar sudah ada. Jadi, solusinya yakni penambangan yang lebih profesional," tukasnya.
Lagipula, tambahnya, eksplorasi emas yang akan dilakukan PT. Gorontalo Minerals masih akan melalui proses yang cukup panjang dan lama.
"Seharusnya penambangan liar bisa dicegah pemerintah sejak dulu, namun terkesan selama ini sengaja dibiarkan untuk kepentingan yang lebih besar," ujar Koordinator Koalisi Rakyat Tolak Alih Fungsi Hutan (KORTAF), Suleman Bouti.
KORTAF juga menolak referendum yang ditawarkan dan meminta pemerintah bertanggungjawab atas izin pinjam pakai kawasan TNBNW, yang dikeluarkan tanpa menunggu selesainya revisi Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang.
"Penolakan disuarakan. Solusinya sudah disampaikan. Bahaya aktivitas penambangan pun jelas, apalagi masyarakat lokal belum tentu bisa mencicipi keuntungan dari eksplorasi itu," ujarnya.
Jadi, mengapa harus melakukan referendum? (D015/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011