Jakarta (ANTARA) - Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember (FH UNEJ) Bayu Dwi Anggono berpendapat penetapan dan pelantikan Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) oleh Presiden Joko Widodo telah mempedomani hukum yang berlaku.
Yaitu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional.
"Keberadaan Keputusan Presiden nomor 45 tahun 2021 tentang keanggotaan dewan pengarah BRIN telah mendasarkan kepada syarat sahnya suatu keputusan yang dibuat oleh badan/pejabat pemerintahan," kata Bayu dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Akademisi: Megawati jabat Ketua Dewan BRIN dan BPIP bukan hal baru
Dia menjelaskan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan di Pasal 9 menyebutkan setiap keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengenai peraturan perundang-undangan yang dimaksud meliputi: (i) peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan; dan (ii) peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.
Keppres tentang keanggotaan dewan pengarah BRIN telah memenuhi ketentuan syarat sahnya suatu keputusan berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan.
Pertama, kata dia, dasar kewenangan Presiden menetapkan dewan pengarah BRIN sekaligus personil-personil yang ada di dalamnya adalah ketentuan Pasal 7 Perpres BRIN sebagai pelaksanaan dari Pasal 48 ayat (3) UU Sinas Iptek yang mendelegasikan pengaturan mengenai BRIN diatur lebih lanjut dengan Perpres.
Kedua, mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Presiden dalam menetapkan ketua dewan pengarah BRIN ex-officio berasal dari unsur dewan pengarah BPIP adalah ketentuan Pasal 7 ayat (2) Perpres BRIN.
"Perlu dipahami bahwa sebagai norma hukum yang sifatnya umum maka Pasal 7 ayat (2) Perpres BRIN berlakunya tidak terkait dengan figur atau individu tertentu yang ada saat ini," ujar Bayu.
Hal itu karena ketentuan dalam Pasal 7 Perpres BRIN tidak hanya berlaku untuk masa sekarang namun berlaku terus menerus ke depannya.
"Artinya siapapun figur/individu yang 10 atau 15 tahun ke depan menjadi dewan pengarah BPIP maka secara ex officio (karena jabatan) dapat menjadi ketua dewan pengarah BRIN. Apalagi di Pasal 60 Perpres BRIN sendiri telah diatur pembatasan masa jabatan untuk dapat menjadi dewan pengarah, yang konsekuensinya terjamin ada proses regenerasi Dewan Pengarah BRIN," jelas Bayu.
Dia menilai kebijakan dalam Perpres BRIN terkait ketua dewan pengarah BRIN berasal dari unsur dewan pengarah BPIP merupakan kebijakan hukum terbuka Presiden yang berdasarkan penafsiran sistematis atas teks peraturan perundang-undangan dapat dibenarkan.
"Kebijakan Presiden ini tidak lepas dari cara Presiden dalam memahami/menafsirkan ketentuan Pasal 5 UU Sinas Iptek yang menyatakan Iptek berperan menjadi landasan dalam perencanaan pembangunan nasional dengan berpedoman pada ideologi Pancasila," tuturnya.
Dengan demikian, pilihan kebijakan presiden yang menginginkan ada keterkaitan dan koherensi erat antara BRIN dengan BPIP dalam bentuk ketua dewan pengarah BRIN berasal dari unsur dewan pengarah BPIP agar tujuan riset dan inovasi nasional mendasarkan pada ideologi Pancasila merupakan pilihan kebijakan yang punya dasar hukum.
"Sehingga kebijakan hukum terbuka semacam ini memiliki keabsahan dan patut untuk dihormati," demikian Bayu.
Baca juga: MPR: Pro-kontra pengangkatan Dewan Pengarah BRIN tidak perlu terjadi
Baca juga: Basarah: Struktur Dewan Pengarah BRIN sesuai Perpres
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021