Kairo (ANTARA News) - Sejumlah mahasiswi Indonesia mengatakan bahwa mereka tetap bertahan di Mesir yang kondisinya secara umum aman-aman saja kendati terjadi unjuk rasa akbar sepanjang tiga pekan sebelum Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri pada Jumat pekan lalu.
"Meskipun terjadi demonstrasi besar dan hanya berpusat di Tahrir, pusat kota Kairo, secara umum Mesir aman kok," kata Yuli, mahasiswi asal Jakarta yang sedang menempuh program S-3 di Cairo University kepada wartawan ANTARA Munawar Saman Makyanie di Kairo, Senin.
Menurut Yuli, lebih dari 100 mahasiswi Indonesia tidak ikut evakuasi karena merasa yakin bahwa krisis tidak akan berlangsung lama.
Pernyataan senada diutarakan, Nurul Ismah, mahasiswi asal Bogor, Jawa Barat yang sedang menjalani program S-1 di Universitas Al Azhar.
Ismah, yang juga Ketua Wihdah, badan otonomi mahasiswi di bawah Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir, mengatakan semua mahasiswi Indonesia aman dan tidak pernah diintimidasi atau dilecehkan.
"Memang ada kekhawatiran pada awal-awal krisis dengan melihat tank-tank tempur di pinggir rumah, dan orang-orang membawa pentungan kayu, tapi alhamdulillah mereka tidak mengganggu kita," kata mahasiswi jurusan Tafsir Al Quran itu.
Ismah menjelaskan jumlah mahasiswi Indonesia berkisar 900 orang, sebagian di antaranya memilih bertahan di Mesir dengan berbagai pertimbangan, terutama mereka yang di tinggal di Asrama Al Azhar.
Para mahasiswi itu selain kuliah di Al Azhar Kairo, juga di Al Azhar cabang di beberapa provinsi, seperti Iskandariah, Zakazik dan Tafahna, katanya.
Wirdah Fachirah Fachri, mahasiswi program S-3, memiliki pengalaman menarik selama krisis.
Mahasiswi blasteran Betawi-Padang, Sumatra Barat, ini selain kuliah, juga sebagai wartawati-penyiar Radio Mesir Bahasa Indonesia yang tidak pernah libur selama krisis.
"Setiap hari sepanjang krisis, saya ke tempat kerja. Meskipun saya terpaksa jalan kaki dari Distrik Attaba lewat Jalan Talat Harb, dekat Bundaran Tahrir. Aman-aman saja tuh," kata Fachirah, yang menempuh dua kuliah, yaitu program S-3 di American Open University dan S-2 di Universitas Al Azhar itu.
Gedung Stasiun Radio-Televisi Nasional Mesir yang juga Kantor Menteri Penerangan, berdekatan dengan Bundaran Tahrir -- tempat Wirdah bekerja -- merupakan salah satu kantor pemerintah yang menjadi target pengepungan pengunjuk rasa.
Sejumlah kendaraan lapis baja memblokade akses ke gedung tinggi yang mewarnai panorama kota berjulukan Seribu Menara itu.
Wirdah menceritakan, setiap pegawai yang masuk ke gedung yang terletak di bibir Sungai Nil itu diperiksa ketat oleh tentara yang mengambil alih keamanan.
"Selama krisis, hanya satu hari, yaitu Jumat, 11 Februari -- hari mundurnya Mubarak, kami semua karyawan tidak bisa masuk kerja karena gedung itu dikepung massa," ujar Wirdah.
Umroni Jayadi, mahasiswi asal Jakarta mengimbau semua mahasiswa yang dievakuasi ke Indonesia agar segera kembali untuk melanjutkan kuliah.
"Dengan turunnya Mubarak, otomatis tuntutan evakuasi gugur, jadi perlu meyakinkan orang tua dan keluarga tentang kondisi terkini di Mesir yang telah aman", kata Umroni, mahasiswi program S-2 Al Azhar.
Menurut pemantauan Umroni, selama krisis stok dan harga bahan makan pokok stabil, dan sejumlah swalayan tidak pernah ditutup.
Habibah Djunaidi, kandidat doktor Universitas Al-Azhar yang tinggal di Asrama Puteri Mishr Al-Mahrusah, Muqattam, juga tidak mau dievakuasi karena keamanannya dijamin Al Azhar.
"Asrama Al Azhar Putri ini sama dengan asrama putra, sangat aman sehingga saya merasa tidak darurat untuk dievakuasi ke Indonesia," ujar mahasiswi jurusan Fiqih Perbandingan itu.
Aprina, mahasiswi asal Bandung yang terlibat sebagai relawan di Posko Siaga Evakuasi WNI di Kantor Konsuler KBRI Kairo, mengaku tidak gentar dengan krisis di Mesir.
Sementara itu, Dekan Al Azhar Putri, Prof. Dr. Affaf El-Naggar dan Wakil Dekan Al Azhar Putri, Prof. Dr, Mohgah Galib mengatakan, Universitas Al Azhar tidak akan pernah ditutup hanya karena krisis politik di Mesir.
(M043)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011