Seoul (ANTARA News) - Bersamaan dengan dimulainya tahun ajaran baru sekolah, Maret, guru sekolah menengah atas Korea Selatan Jennifer Chung khawatir bagaimana mengatasinya tanpa teman kelas lamanya -- tongkat keras untuk memukul murid nakal.

"Saya tidak tahu apakah saya dapat bertahan di rimba kegaduhan 40 murid laki-laki di tiap kelas, apalagi menjaga ketenangan mereka tanpa alat untuk menghukum mereka," kata guru matematika berusia 36 tahun di provinsi Gyeonggi di sekitar Seoul, demikian AFP melaporkan.

Otoritas pendidikan di Seoul, distrik sekolah terbesar negara itu dengan 1,36 juta anak sekolah pra-kolese, November silam melarang hukuman badan.

Gyonggi dan satu provinsi lain mengikuti, dengan memberlakukan aturan baru tersebut di sana Maret.

Langkah tersebut menimbulkan perdebatan sengit di Korea Selatan, dimana pendidikan sangat dihargai dan hukuman badan telah lama ditolelir -- jika tidak didorong -- untuk mendisiplinkan siswa dan mendorong mereka menonjol.

Masuk ke kolese atau universitas bergengsi menentukan jalannya karir dan bahkan pernikahan. Jadi orangtua dan guru sering mendorong anak-anak supaya bekerja lebih keras melalui kesakitan fisik.

Tamparan ataupun tabok pantat merupakan hukuman biasa akibat tidak mengerjakan pekerjaan rumah, tampil buruk dalam ujian atau mengobrol terlalu keras selama pelajaran.

Anak-anak yang melanggar peraturan sekolah akan disuruh push up, mengangkat tangan lurus di atas kepala atau jalan di taman dalam posisi jongkok atau dikenal sebagai "jalan bebek".

Survei menunjukkan sekitar 70 persen siswa sekolah menengah atas mengalami hukuman badan. Namun luka-luka akibat pukulan keras terkadang memicu tuntutan hukum orangtua dan hukuman penjara bagi guru.

Kim Dong-Seok, seorang juru bicara Korean Federation of Teachers Unions, mengatakan kelas yang berjejal dan tekanan agar memasukkan siswa ke kolese yang bagus memaksa para pendidik untuk bersandar pada disiplin yang keras dan cepat.

"Dengan sekitar 40 siswa di tiap kelas dan semua orangtua menuntut agar anak-anak mereka diterima di kolese yang bagus, anda tentu tidak dapat melakukan tugas tanpa hukuman fisik," katanya.

Tiap kelas di sekolah-sekolah Korea Selatan rata-rata menampung 35,3 siswa, salah satu yang tertinggi diantara negara-negara anggota OECD dengan rata-rata 23,9.

"Para orangtualah yang masih menginginkan agar para guru menggunakan metode-metode fisik untuk membuat anak-anak mereka tampil lebih baik dalam ujian," kata Kim.

Namun video klip berdurasi empat menit perihal kelas sekolah dasar Seoul yang dipublikasikan Juli memicu perdebatan yang lama menjadi peliharaan kelompok minoritas guru dan orangtua liberal.

Sebuah video dari seluler yang diambil seorang siswa memperlihatkan seorang guru paruh baya yang mengumpat dan berteriak menampar wajah anak kelas enam, melemparkannya ke lantai dan menendangnya berulangkali.

Dinas pendidikan Seoul, yang dikepalai oleh mantan aktivis pendidikan liberal yang baru saja terpilih, kemudian mengambil keuntungan atas kemarahan publik dengan melarang semua hukuman badan di sekolah tahun itu.

"Hukuman badan itu barbar, tidak manusiawi dan sering digunakan oleh para guru semata-mata untuk melampiaskan kemarahan mereka sendiri. Lebih buruk lagi, hal itu membuat para pemuda menganggap kekerasan dalam kehidupan sehari-hari lumrah," kata Cho Shin, seorang juru bicara dinas tersebut.

"Tak seorang pun yang cukup berani untuk mengakhiri siklus jahat, yang sudah berlangsung lama ini. Namun sekaranglah saatnya untuk mengakhirinya, tak masalah betapa pun sulitnya untuk melakukan hal itu," katanya kepada AFP.

Para guru, namun, mengatakan penggantian kebijakan mendadak memberi mereka sedikit alternatif pendisiplinan.

"Sejumlah anak yang sungguh bengal telah mencemooh saya ketika saya mencoba menegur mereka karena mengobrol terlalu keras selama pelajaran, dengan mengatakan 'Haruskah saya mengambil telepon seluler saya?' atau 'sekiranya sekarang kamu tidak akan memukul saya, bukan?'" kata salah seorang guru sekolah menengah atas yang menolak disebutkan namanya.

Kim dari Serikat Guru mengatakan keluhan dari para guru sejak tahun lalu telah membanjir masuk -- terutama dari guru perempuan yang mengatakan mereka dilecehkan atau dipukul siswa yang membalas omelan.

"Kami tahu jaman sudah berubah dan kami tidak harus memukuli para siswa. Namun kami benar-benar memerlukan cara lain untuk menghukum mereka yang melanggar peraturan dan mengganggu kelas," katanya.

Opsi yang disarankan oleh dinas pendidikan -- memanggil orangtua atau mengirim siswa untuk mengikuti kelas refleksi diri khusus -- kecil manfaat nyatanya, katanya, akibat kurangnya instruktur khusus dan tidak ada panduan jelas bagi orangtua.

Murid-murid terbelah sama banyak. Sebuah survei pribadi bulan lalu terhadap 23.000 siswa menengah dan atas menunjukkan sekitar 50 persen mendukung hukuman fisik di ruang kelas sedangkan 40 persen menentang dan 10 persen tidak tahu.

"Ketika saya dipukul guru, saya pikir itu biasanya demi alasan yang baik dan saya pantas mendapatkan itu, meskipun saya merasa sedikit dipermalukan," kata Jeon Jun-Su, siswa sekolah menengah atas di kota Gimcheon tengah-selatan.

"Jika saya melakukan kesalahan, saya lebih suka dipukul beberapa kali daripada orangtua saya harus dipanggil. Hal itu jauh lebih mudah dan lebih enak," katanya.

Kementerian pendidikan nasional bulan lalu mencoba menenangkan kontroversi tersebut dengan membolehkan hukuman yang tidak melibatkan pukulan seperti push up. Namun kantor pendidikan Seoul berjanji akan mati-matian memegang teguh larangan tersebut, semakin membingungkan para guru.

"Kami berada di tengah transisi berantakan dan kacau," kata Kim Chang-Hwan, seorang periset di Institut Pengembangan Pendidikan.

Periset itu mengatakan kultur militer yang meresap di bawah peraturan yang didukung militer selama 1960-an sampai 1980-an memainkan peran dalam menyoroti hukuman badan dalam pendidikan, yang harus lenyap pada akhirnya.

"Hal ini mungkin menjadi harga yang harus dibayar sekolah-sekolah Korea Selatan karena terlalu mengandalkan hukuman badan daripada menggunakannya sebagai jalan keluar terakhir," katanya. (ANT/K004)

Pewarta: Kunto Wibisono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011