Kejadian di Cikeusik telah mencoreng kerukunan beragama yang selama ini dibangun."
Serang (ANTARA News) - Bentrok warga dengan anggota Jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang Banten, Minggu pekan lalu menggemparkan Indonesia, bahkan dunia.
Tragedi berdarah yang menewaskan tiga orang itu berbuntut pada pergantian Kapolda Banten Brigjen Pol Agus Kusnadi, Kapolres Pandeglang AKBP Alex Fauzi Rasyad dan Dir Intelkam Polda Banten Kombes Adityawarman.
Kapolda Banten Brigjen Pol Agus Kusnadi di depan Menko Polhukam Djoko Suyanto di Jakarta Senin (7/2) menyampaikan kronologi peristiwa berdarah itu.
Minggu dini hari tanggal 6 Februari pukul 03.00 WIB, 15 anggota Jamaah Ahmadiayah dari Jakarta tiba di satu rumah di Babakan Cipeundeuy, Cikeusik, Pandeglang. Berkendara sepeda motor, mereka mendatangi rumah Suparman, pemimpin Jamaah Ahmadiyah Cikeusik.
Polisi mengetahuinya, lalu Kapolres Pandeglang memerintahkan 30 personelnya dan satuan intelkam serta reskrim untuk mendatangi Mapolsek Cikeusik. Mereka datang untuk mengantisipasi hal-hal tidak diinginkan terjadi setelah kedatangan Jamaah Ahmadiyah dari Jakarta itu.
Sekitar pukul 08.00 WIB. Kapolsek Cikeusik AKP Madsupur dan Kepala Desa Umbulan mendatangi rumah Suparman dan membujuk sekitar 20 orang anggota Jamaah Ahmadiyah di situ untuk segera meninggalkan rumah Suparman.
Namun, demikian Kapolda Banten, imbauan Kapolsek dan Kepala Desa Umbulan tidak dihiraukan oleh orang-orang yang berada dalam rumah Suparman.
Bahkan, seorang dari mereka berkata kepada polisi dan sang kepala desa, "Jika aparat bapak-bapak tidak sanggup menghadapi masa terebut, biarkan kami saja yang menghadapinya."
Sekitar pukul 10.45 WIB, kira-kira 1.500 orang dari sekitar Desa Umbulan, Cikeusik, mendatangi rumah Suparman. Mereka membawa berbagai peralatan kayu, batu dan senjata tajam.
Suasana menjadi panas. Menurut Kapolda, pihak keamanan sudah berupaya mencegah warga untuk tidak bertindak anarkis, namun imbauan ini tidak digubris. Warga yang baru datang ini mulai melempari rumah Suparman, sementara Jamaah Ahmadiyah membalas, juga dengan batu.
Bentrok di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, itu pun tak terhindarkan.
Mendapat balasan dari warga Ahmadiyah, ribuan orang itu akhirnya bersama-sama menyerang dan merusak rumah Suparman. Kemudian, terjadi penganiayaan. Tidak hanya itu, dua unit kendaran roda dua dan dua kendaraan roda empat dibakar.
"Karena kekuatan personil yang ada pada saat itu tidak memadai, maka kejadian yang berlangsung seekitar dua jam tersebut sulit untuk diatasi," papar Kapolda Banten.
Akibat peristiwa itu, tiga orang diduga anggota Jamaah Ahmadiyah meninggal dunia. Mereka adalah Roni yang sekujur tubuhnya dipenuhi luka, kemudian Mulyadi yang belakangan diketahui bernama Chandra, dan terakhir Tarno yang juga meninggal akibat mengalami luka di tubuh yang terlalu banyak.
Bentrok sosial itu juga mengakibatkan lima orang luka berat.
Mencoreng Banten
Tragedi ini segera mengundang reaksi berbagai kalangan, termasuk Presiden RI dan menteri-menterinya.
Dua hari kemudian, Menteri Agama Suryadharma Ali, Mendagri Gamawan Fauzi, Kapolri Timur Pradopo, dMuspida Banten Kabupaten Pandeglang menggelar rapat koordinasi membahas masalah ini.
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menyatakan kejadian ini diluar dugaan dan datang tiba-tiba layaknya sebuah musibah.
Atut mengaku, selama ini dia sudah berupaya membangun kebersamaan dan kerukunan umat beragama di Banten sehingga selama kepemimpinannya tidak pernah ada kejadian gangguan keamanan di Banten yang berkaitan dengan suku agama ras dan antar golongan (SARA).
Ia meminta warga Banten bisa menahan diri dan tidak mudah terprovokasi kelompok-kelompok tertentu yang beruaha memicu tindakan-tindakan anarkis.
"Kami sangat prihatin dengan peristiwa ini. Selama ini kebersamaan dan kerukunan intern dan antarumat beragama di Banten sudah terbangun dengan baik. Mudah-mudahan kasus ini tidak berkepanjangan dan secepatnya bisa diselesaikan," kata Ratu Atut Chosiyah.
Bahkan, sebagai bentuk keberhasilannya membina dan memberikan pelayanan di bidang keagamaan serta dalam menjaga kerukunan antarumat beragama, sebulan sebelum peristiwa Cikeusik terjadi, Gubernur Banten dianugerahi Amal Bhakti Kementerian Agama dari Menteri Agama Suryadharma Ali.
"Kerukunan umat beragama di Banten sudah terbangun sejak jaman kesultanan. Hal ini bisa dibuktikan dengan sejumlah bangunan tempat ibadah yang saling berdekatan. Namun kejadian di Cikeusik telah mencoreng kerukunan beragama yang selama ini dibangun," kata Atut saat menghadiri Rapimda Partai Golkar Minggu kemarin.
Untuk mencegah peristiwa seperti ini terulang, bersama MUI, FKUB dan sejumlah pihak terkait, Atut berjanji mengupayakan optimalisasi kordinasi dan komunikasi dalam membina masyarakat.
Ia juga meminta pihak-pihak tertentu untuk menjalankan peraturan dan ketentuan yang sudah dibuat pemerintah dan disepakati bersama.
Enam sikap
Sejumlah ulama dan kyai Banten mengeluarkan enam butir pernyataan untuk menyikapi bentrok Cikeusik itu, di depan ratusan ulama, kyai, santri dan tokoh masyarakat Banten di Serang, Kamis atau empat hari setelah tragedi berdarah itu terjadi.
KH Fathul Adzim Kharitib (Ketua Kenadziran Kesultanan Maulana Hasanudin), KH Muhtadi Dimyati (Pimpinan Pondok Pesantren Cidahu Pandeglang), KH Kurtubi (Perwakilan kyai Kabupaten Lebak), sejumlah tokoh agama Islam dari daerah lainnya di Banten, dan anggota Tim Pengacara Muslim Agus Setiawan, membacakan bersama enam butir pernyataan itu.
Keenam pernyataaan sikap itu adalah mereka tidak menyetujui tindakan anarkis kecuali dalam keadaan terdesak dan demi membela hak dan kewajiban, tidak menyetujui aliran dan atau organisasi Ahmadiyah di Provinsi Banten, meminta penegak hukum menangkap dan mengadili orang Ahmadiyah yang memulai bentrok dengan diantaranya melempari masyarakat yang ingin berdialog.
Pernyataan sikap selanjutnya, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintah Republik Indonesia untuk segera membubarkan Ahmadiyah dan meminta Kepolisian Republik Indonesia untuk membebaskan warga yang ditahan polisi karena bentrok Cikeusik.
Pernyataan keenam mereka adalah apresiasi dan penghargaan mereka kepada Polres Pandeglang dan Polda Banten yang telah melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, serta mendesak pihak lain tidak mengkambinghitamkan Polda Banten.
Usai menyampaikan pernyataan sikap, mereka mendatangi Mapolres Pandeglang guna meminta polisi membebaskan sejumlah tokoh dan kyai yang menurut mereka ditahan polisi.
Peristiwa tersebut juga berbuntut pada pergantian Kepala Kepolisian Banten, Kapolres Pandeglang dan Direktur Intelkam Polda Banten.
Kapolda Banten yang sebelumnya Brigjen Pol Agus Kusnadi diganti oleh Brigjen Pol Drs Putut Eko Bayuseno yang lagi menjabat Wakapolda Metro Jaya.
Kapolres Pandeglang AKBP Alex Fauzi Rasyad diganti oleh AKBP Ady Suseno yang sudah diserahterimakan pada Sabtu (12/2) di Mapolda Banten, sedangkan Direktur Intelkam Polda Banten Kombes Pol Adityawarman akan diganti Wadir Intelkam Polda Jambi AKBP Sudaryanto.
Senini ini di Mabes Polri Jakarta, mengutip Kabid Humas Polda Banten AKBP Gunawan, Mabes Polri akan menggelar acara serah terima jabatan Kapolda Banten.
Sebelumnya Selasa pekan lalu, Brigjen Agus Kusnadi, Kombes Adityawarman, dan AKBP Alex Fauzi Rasyad serta sejumlah pejabat polisi lainnya diperiksa Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri yang dipimpin langsung Komjen Pol Nanan Soekarna.
Hingga Sabtu pekan lalu, penyidik gabungan Mabes Polri, Polda Banten dan Polres Pandeglang sudah menetapkan lima orang tersangka. Mereka berinisial UJ, KE, KM, KMH dan YA.
"Kemungkinan tersangka bisa bertambah karena tim penyidik masih melakukan pemeriksaan saksi," kata Agus Kusnadi usai serah terima jabatan Kapolres Pandeglang di Mapolda Banten, Sabtu (12/2). (*)
Oleh Mulyana
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011