Jakarta (ANTARA) - Intelektual muda NU, Prof. Dr. H. Nadirsyah Hosen, L.LM., M.A. (Hons), Ph.D. atau yang akrab disapa Gus Nadir, pekan lalu sebagaimana dimuat di laman resmi NU Care, mengingatkan pentingnya menjaga kemandirian Muktamar di Lampung pada tanggal 23 - 25 Desember 2021.

Ia menyodorkan saran, panitia muktamar jangan bergantung pada bantuan yang berasal dari APBN, APBD, penguasa, dan pengusaha. Jika kita tarik benang merah, saran Gus Nadir bisa diartikan pelaksanaan Muktamar mendatang seyogyanya lepas dari kepentingan-kepentingan politik.

Melihat NU yang mandiri dan lepas dari kooptasi politik adalah impian seluruh Nahdliyin. Itu jika kita mau jujur, di mana selanjutnya akan muncul pertanyaan, mungkinkah itu terjadi? Bagaimanapun arah NU 5 tahun ke depan akan ditentukan oleh kepengurusan yang pimpinannya dipilih pada muktamar mendatang.

Kandidat ketua umum

Merujuk pada hasil survei Institute for Democracy & Strategic Affairs (Indostrategic), beberapa nama muncul sebagai kandidat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), antara lain KH. Marzuki Mustamar, KH. Hasan Mutawakkil Alallah, KH. Said Aqil Siroj, KH. Bahaudin Nursalim (Gus Baha), dan KH. Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. Namun jika melihat peta riil di lapangan berdasarkan pergerakan permintaan dukungan, hanya ada 2 kandidat yang sudah wara-wiri melakukannya, yaitu Kiai Said dan Gus Yahya. Simak saja pemberitaan media massa tentang isu Muktamar NU dalam beberapa minggu terakhir, 2 nama itu seakan berlomba menarik simpati.

Sekarang kita ulas tentang 2 kandidat “kuat” tersebut, bagaimana keterkaitannya dengan politik yang tentu akan memengaruhi jalannya kepengurusan NU mendatang.

Kita mulai dari Kiai Said. Perjalanan karir ulama kelahiran Cirebon ini memang tak jauh dari dunia politik, di mana dia pernah menjadi anggota MPR RI. Bukan rahasia pula jika Kiai Said selalu “akrab” dengan petinggi negeri ini, sejak zaman almarhum Taufik Kiemas menduduki jabatan Ketua MPR RI, dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, hingga kini Presiden Joko Widodo yang lantas mengganjarnya dengan kedudukan sebagai Komisaris Utama PT. Kereta Api Indonesia.

Baca juga: PW NU Jatim ingin pemimpin yang berani lawan intoleransi dan radikal

Kita "flashback" ke pelaksanaan Muktamar NU ke-33 di Jombang 6 tahun lalu yang mengantarkan Kiai Said kembali terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, di mana pada prosesnya kental aroma politik. Dengan sokongan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Kang Said berhasil mengalahkan As’ad Said Ali, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang di kepengurusan NU sebelumnya menduduki jabatan Wakil Ketua Umum. Berangkat dari dukung-mendukung itu pula susunan kepengurusan PBNU masa khidmad 2015 - 2020 tercium begitu kuat aroma PKB, atau minimal orang-orang yang memiliki irisan dengan partai itu.

Atas “jerih payahnya” itu PKB sudah banyak mereguk keuntungan. Kooptasinya yang begitu mencengkeram NU berhasil mengantarkannya menambah jumlah kursi di DPR RI pada Pemilu 2019, meloloskan KH. Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden RI, hingga pada survei elektabilitas partai politik terbaru melenggang masuk 3 besar dan menggeser Partai Gerindra. Maka pada Muktamar NU ke-34 mendatang PKB tentu akan mati-matian kembali mengantarkan Kiai Said pada tampuk kekuasaan PBNU.

Lantas bagaimana dengan Gus Yahya? Selintas, terlebih masyarakat awam, melihatnya tidak memiliki irisan dengan kepentingan politik. Maka dari itu dalam pencalonannya sebagai kandidat Ketua Umum PBNU ini, dia berani mengusung isu politik. Simak saja bagaimana dia berstatemen pada wawancara atau kunjungannya ke redaksi-redaksi media massa pers dalam 2 pekan terakhir. Pada saat di Republika misalnya, dia menyampaikan tudingan kepada kepengurusan PBNU saat ini hanya menjadi jaring dalam mendulang dukungan politik, dan dia berjanji tidak akan melakukannya.

Tak cukup hanya itu, pada diskusi dengan redaksi Kompas, kiai asal Rembang, Jawa Tengah itu mengingatkan agar NU tidak sekadar menjadi batu loncatan politik para politikus, yang mana untuk mencapai tujuan itu dia menawarkan reorganisasi. Sementara kepada Tempo Gus Yahya mengingatkan pentingnya NU melakukan "reposisioning" politik dengan tidak menjadi pihak dalam kompetisi politik. Pertanyaannya, benarkah Gus Yahya tidak disokong kekuatan politik pada pencalonannya kali ini?

Gus Yahya yang lahir di Rembang, 16 Februari 1966, merupakan putra KH. Muhammad Cholil Bisri, ulama besar NU yang sekaligus pendiri PKB. Perjalanan karirnya ternyata tidak bersih-bersih amat dari urusan politik, di mana dia pernah menjadi juru bicara Presiden Ke-4 RI, Abdurahman Wahid atau Gus Dur, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) pada pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama. Gus Yahya juga merupakan saudara kandung Yaqut Cholil Qoumas yang saat ini menduduki jabatan Menteri Agama RI.

Baca juga: PCNU Kota Kediri belum tentukan sikap soal calon Ketua Umum PBNU

Dalam pencalonannya-pun, Gus Yahya rupanya juga tidak bisa lepas dari dukungan politik. Untuk melihatnya, amatilah orang-orang yang sejauh ini menjadi “juru kampanyenya”. Ada Nusron Wahid, politisi Golkar yang di pusaran NU menduduki jabatan Wakil Syuriah PWNU DKI Jakarta. Ada Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul, Wali Kota Pasuruan yang jamak diketahui khalayak merupakan politisi kawakan, serta Ahmad Fahrur Rozi atau Gus Fahrur, Ketua Ikatan Gus-gus Indonesia, yang jika kita tracking lewat pemberitaan akan muncul statemen-statemennya terkait politik.

Ikatan darah antara Gus Yahya dengan Yaqut Cholil Qoumas bisa juga kita korelasikan dengan PKB. Sudah menjadi rasan-rasan publik jika posisi Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum PKB saat ini sering diusik oleh orang-orang di sekelilingnya sendiri. Itu terjadi bahkan sejak lama, meski pada prosesnya dia terus bisa mempertahankan kedudukan itu. Bermodal jabatan Menteri Agama, kini Gus Yaqut-lah yang disebut-sebut berpeluang mendongkel Cak Imin dari kursi yang sudah didudukinya selama 16 tahun terakhir. Keberhasilan mengantarkan sang kakak ke kursi Ketua Umum PBNU tentu akan menjadi tiket VVIP bagi Gus Yaqut untuk bisa merebut pucuk pimpinan PKB.

Pusaran politik

Mantan Rais ‘Aam PBNU, Almagfurllah KH. Sahal Mahfudz pernah "ngendikan" politik NU adalah politik kebangsaan yang bertujuan menciptakan keharmonisan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk merealisasikan itu, jajaran Tanfidziyah di bawah kepemimpinan Kiai Said menyertakan kekuatan politik dalam kepengurusannya. Dalam berbagai kesempatan dakwah, kiai jebolan Universitas Ummul Qura’, Madinah, itu juga acapkali mengatakan, “Politik untuk kepentingan agama, boleh.”

Terlepas NU juga pernah menjadi partai politik di masa Orde Lama, perjalanannya sebagai sebuah "civil society" nyaris selalu serempetan dengan politik. Memang harus diakui NU merupakan magnet yang teramat kuat untuk mampu menghadirkan massa dukungan. Karena itu pula pemerintahan Orde Baru pernah berkeras memecah soliditas NU pada Muktamar di Cipasung tahun 1994, menempatkan “boneka” sebagai ketua PBNU tandingan. Puncak persinggungan NU dengan politik terjadi ketika Gus Dur terpilih sebagai presiden RI ke-4, yang mana situasi dukung-mendukung itu berlangsung langgeng hingga sekarang.

Berkat kedekatan yang dimilikinya dengan kekuatan politik, NU, baik di struktural maupun kulturalnya sudah merasakan manfaat. Massa grassroot NU saat ini bisa melihat telah banyak pondok pesantren mengalami kemajuan, memiliki gedung bertingkat hingga mengelola minimarket yang sebagian di antaranya berkat bantuan pemerintah/politisi. Banyak program dari lembaga dan badan otonom NU untuk kemaslahatan umat juga mencapai goal berkat sokongan politik, yang untuk memaparkannya akan lebih afdhol dilakukan oleh mereka yang menjadi pengurus.

Baca juga: NU Jatim usung Gus Yahya sebagai calon Ketua Umum PBNU

Oh, satu lagi. NU kini bisa merealisasikan mimpi besar yang diangankan bertahun-tahun, yaitu memiliki perguruan tinggi, tentu tak lepas berkat kemesraan kepengurusannya dengan lembaga politik. Saya tidak tahu bagaimana progresnya, berapa jumlah universitas yang kini telah dimiliki, namun yang pasti Kiai Said-lah Ketua Umum PBNU yang mampu mewujudkannya.

Dengan manfaat yang nyata itu, politik tampaknya masih akan memengaruhi perjalanan NU di masa mendatang. Para kandidat yang mencalonkan diri pada Muktamar juga sudah selayaknya tidak sungkan mengakui dirinya disokong kekuatan politik. Apalagi jika terang-terangan dirinya berdiri di depan politisi, jangan menyerang lawan seakan diri bersih dari kepentingan politik.

Sekarang pilihan ada di tangan Nahdliyin yang akan diwakili oleh pengurusnya dari tingkat cabang hingga wilayah sebagai pemilik hak suara. Mau memilih incumbent yang sudah memberikan bukti, atau penantang yang mengusung janji? Semoga perhelatan Muktamar mendatang bisa menghasilkan pimpinan yang akan menjadikan NU semakin berkibar. Amin.


*) Samsul Hadi Karim, Freelance Journalist, pemerhati isu sosial dan politik.

Copyright © ANTARA 2021