Sanaa (ANTARA News) - Oposisi parlemen Yaman setuju Minggu untuk memulai lagi perundingan yang dihentikan sejak Oktober dengan pemerintah Presiden Ali Abdullah Saleh, yang sedang menghadapi seruan-seruan pengunduran diri dari pemrotes.

Forum Bersama, sebuah aliansi kelompok oposisi parlemen, "siap menandatangani kerangka perjanjian pekan ini... untuk (memulai lagi) dialog nasional," kata aliansi itu dalam sebuah pernyataan yang diterima AFP.

Perundingan itu akan dimulai dari titik ketika dihentikan pada 31 Oktober, katanya.

"Kami mendesak pemerintah mengambil pelajaran dari apa yang telah terjadi di Tunisia dan Mesir," dimana pemberontakan rakyat menggulingkan pemimpin mereka, kata pernyataan itu.

Forum itu memperingatkan "pemberontakan rakyat" serupa di Yaman, sebuah negara yang kata mereka dilanda "korupsi, kemiskinan, pengangguran, penindasan, ketidakadilan dan tirani".

Mereka juga mendesak Saleh membuktikan niat baiknya dengan memberhentikan anggota-anggota keluarga dan kerabatnya yang memegang jabatan penting di sejumlah lembaga seperti angkatan darat, kepolisian, pemerintah dan dewan daerah.

Di bawah tekanan oposisi untuk mengundurkan diri, Saleh yang telah berkuasa 32 tahun mengumumkan pada 2 Februari pembekuan amandemen konstitusi yang memungkinkannya menjadi presiden seumur hidup dan berjanji bahwa putranya tidak akan menggantikannya.

Ia juga menunda rencana kontroversial pelaksanaan pemilihan umum April tanpa dialog reformasi yang dijanjikan, dan meminta diakhirinya protes di jalan.

Saleh, yang mengamati kerusuhan yang meluas di dunia Arab, mengisyaratkan bahwa ia akan berhenti setelah masa tugasnya berakhir pada 2013. Ia sebelumnya memangkas pajak dan menjanjikan kenaikan gaji bagi pegawai negeri dan tentara.

Diilhami oleh pemberontakan yang menggulingkan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari dan protes anti-pemerintah di Mesir, demonstran Yaman juga menuntut pengunduran diri Saleh dalam beberapa hari terakhir ini.

Yaman hingga kini masih menghadapi kekerasan separatis di wilayah utara dan selatan.

Yaman Utara dan Yaman Selatan secara resmi bersatu membentuk Republik Yaman pada 1990 namun banyak pihak di wilayah selatan, yang menjadi tempat sebagian besar minyak Yaman, mengatakan bahwa orang utara menggunakan penyatuan itu untuk menguasai sumber-sumber alam dan mendiskriminasi mereka.

Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mendesak rakyat Yaman tidak mendengarkan seruan-seruan pemisahan diri, yang katanya sama dengan pengkhianatan.

Negara-negara Barat, khususnya AS, semakin khawatir atas ancaman ekstrimisme di Yaman, termasuk kegiatan AQAP.

Para komandan militer AS telah mengusulkan anggaran 1,2 milyar dolar dalam lima tahun untuk pasukan keamanan Yaman, yang mencerminkan kekhawatiran yang meningkat atas keberadaan Al-Qaeda di kawasan tersebut, kata The Wall Street Journal bulan September.

Negara-negara Barat dan Arab Saudi, tetangga Yaman, khawatir negara itu akan gagal dan Al-Qaeda memanfaatkan kekacauan yang terjadi untuk memperkuat cengkeraman mereka di negara Arab miskin itu dan mengubahnya menjadi tempat peluncuran untuk serangan-serangan lebih lanjut.

Yaman menjadi sorotan dunia ketika sayap regional Al-Qaeda AQAP menyatakan mendalangi serangan bom gagal terhadap pesawat penumpang AS pada Hari Natal.

AQAP menyatakan pada akhir Desember 2009, mereka memberi tersangka warga Nigeria "alat yang secara teknis canggih" dan mengatakan kepada orang-orang AS bahwa serangan lebih lanjut akan dilakukan.

Para analis khawatir bahwa Yaman akan runtuh akibat pemberontakan Syiah di wilayah utara, gerakan separatis di wilayah selatan dan serangan-serangan Al-Qaeda. Negara miskin itu berbatasan dengan Arab Saudi, negara pengekspor minyak terbesar dunia.

Selain separatisme, Yaman juga dilanda penculikan warga asing dalam beberapa tahun ini. (M014/K004)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011