Jika revolusi 2011 sukses, maka akan tercipta tatanan regional dan dunia baru yang sama sekali berbeda dari sistem yang mendominasi ekonomi global saat ini
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Mesir Hosni Mubarak akhirnya mundur. Inilah kali kedua, setelah Tunisia empat minggu lalu, rakyat Arab menumbangkan pemimpinnya.
Mesir telah berubah oleh revolusi terbesar setelah ambruknya Uni Soviet pada 1991.
Revolusi Mesir malah mungkin revolusi terbesar keenam di era modern setelah Revolusi Amerika 1775, Revolusi Prancis 1789, Revolusi Bolshevik 1917, Revolusi Islam Iran 1979, dan Revolusi 1989.
Semua revolusi itu telah mencipta tatanan dunia yang sama sekali baru dan mengilhami gerakan-gerakan sosial setelahnya.
Revolusi Amerika adalah implementasi pertama rezim republik modern, lalu Revolusi Prancis menandai akhir absolutisme kekuasaan. Sementara Revolusi Bolshevik, setidaknya menurut sejarawan Richard Pipes, menjadi katalis bagi gerakan dekolonialisasi Asia dan Afrika.
Revolusi Bolshevik juga menjadi awal perang laten liberalisme versus komunisme yang bahkan tak berhenti oleh interupsi fasisme Jerman pada Perang Dunia Kedua. Namun kegagalan struktural telah membuat komunisme Soviet ambruk menyusul bubarnya Blok Timur dan Uni Soviet.
Revolusi terbesar berikutnya terjadi pada 1979 saat Ayatullah Khomeini memimpin rakyat Iran menumbangkan absolutisme dan kediktatoran Shah Iran.
Revolusi Iran adalah momen yang paling mengubah sistem perimbangan kekuatan dunia sejak Adolf Hitler menduduki Eropa, dan unik karena tanpa menumpahkan darah dan sama sekali bebas dari campur tangan asing, termasuk Barat.
Revolusi Iran menjadi model bagi gerakan-gerakan serupa di dunia Islam dan Dunia Ketiga termasuk negara-negara non-Muslim yang tertarik pada mobilisasi massa secara damai tanpa pesanan asing.
Sedangkan Revolusi 1989 yang diilhami gereja dan kaum buruh di Polandia awal dekade 1980an dan menyebar ke seantero Eropa Timur, memuncak pada runtuhnya Tembok Berlin, lalu diikuti bubarnya Pakta Warsawa dan Uni Soviet.
Kini, seluruh Arab dan dunia menanti tibanya efek Mesir. Presiden Nursultan Nazarbayev di Kazakhstan, Asia Tengah, bahkan tergopoh-gopoh memajukan jadwal pemilu saat Mesir dalam gejolak besar.
Tatanan baru
Revolusi Mesir istimewa karena ini mengubah aktor terpenting di Timur Tengah dan sentral kebudayaan Arab. Penguasa Terusan Suez yang vital bagi pelayaran dunia ini adalah juga pusat kecenderungan politik dan resolusi konflik di Timur Tengah, termasuk konflik Israel-Pelestina.
Perjanjian damainya dengan Israel pada 1978 membuat negara Yahudi itu menikmati masa damai yang panjang. Tapi Mesir kini berubah, dan Israel mendadak was-was.
Bukan hanya Israel, rezim-rezim Teluk yang mengontrol "nyawa" ekonomi Barat (minyak) juga terancam. Juga Libya dan Suriah yang bukan sahabat Barat.
Secara historis, meminjam analisis ilmuwan politik Nafeez Mosaddeq Ahmed dalam Le Monde Diplomatique, posisi Mesir itu sentral bagi rangkaian rezim sokongan AS dan Inggris sejak awal abad 20. Mesir penting untuk menjamin akses Barat ke sumber minyak murah, sekaligus menjaga Israel.
Sejarawan Inggris Mark Curtis mengungkapkan, kebanyakan penguasa Teluk diciptakan Inggris untuk mempertahankan pengaruh Inggris. Akan sangat berbahaya jika para diktator kehilangan kekuasaan akibat rongrongan gerakan reformasi dan revolusi karena bisa memutus pertalian dengan Inggris.
Faktanya kemudian, mengutip Mark Levine (profesor sejarah pada University of California, Ervine), Revolusi Mesir dapat mencipta pemerintah oleh rakyat --sekuler atau non sekuler-- yang mencampakkan sistem ekonomi neoliberal yang telah menistakan bagian terbesar rakyat Mesir.
Tak hanya itu, Mesir juga tak akan lagi membabi buta mendukung kampanye Barat dalam memerangi terorisme, tak gampang didekati Israel, dan enggan lagi mengalokasikan anggaran pertahanan dalam jumlah besar karena itu hanya menguntungkan industri dan kontraktor militer Barat.
Rezim pasca-Mubarak ini akan berpaling kepada kekuatan-kekuatan baru dunia seperti China dan India yang menyediakan tenaga kerja terdidik namun murah, ketimbang tenaga kerja Barat yang mahal.
"Jika revolusi 2011 sukses, maka akan tercipta tatanan regional dan dunia baru yang sama sekali berbeda dari sistem yang mendominasi ekonomi global saat ini," kata Levine.
Kenyataan ini bisa mengikis posisi AS dan negara-negara berekonomi mapan, apalagi jika Revolusi Mesir menjalar ke seluruh Arab. Jelas, 300 juta orang Arab di Timur Tengah yang tercerahkan akan jauh lebih membahayakan ketimbang kampanye teror kelompok radikal seperti Alqaeda yang hanya membuahkan kehancuran.
Israel bimbang
Diantara negara yang memandang Mesir dengan amat panik adalah Israel, apalagi jika Ihkwanul Muslimin atau kelompok anti-Israel lainnya, naik berkuasa.
Bayangkan, jauh di timur, Israel menghadapi Iran yang ambisius menyainginya. Di utara, Turki yang belakangan memusuhinya juga terus memojokkan Israel. Kini ancaman bertambah di selatan dan barat dengan hadirnya Mesir baru yang diperkirakan tak mudah diajak bekerjasama oleh Israel.
Militer Mesir yang selama ini kartu penting Israel di Mesir, ternyata tidak memiliki pandangan baik terhadap Israel, setidaknya tidak terang-terangan.
Beberapa waktu lalu, dari bocoran WikiLeaks, pemerintah Israel terkejut mendapati fakta bahwa para perwira Mesir terus menerus mengindoktrinasi tentaranya bahwa Israel adalah musuh utama Mesir.
Revolusi Mesir juga menginspirasi kawasan Arab lain, termasuk Yordania yang bersahabat dengan Israel, dan sejumlah negara Arab termasuk kawasan Teluk yang tak pernah berani berkonfrontasi langsung melawan Israel.
Sementara di garis depan, Israel harus menghadapi Hizbullah di Lebanon dan Hamas di Jalur Gaza yang kian berani memprovokasinya, sekaligus merongrong Otoritas Palestina yang kehilangan patronnya, Hosni Mubarak. Belum lagi resonansi Mesir kepada warga Israel keturunan Arab yang merupakan 20 persen penduduk Israel.
Israel tahu, dunia Arab yang terdemokratisasi akan menjadi kekuatan yang amat pro-Palestina. "Inilah mengapa mimpi dan angin demokrasi yang bertiup ke seluruh dunia Arab membuat bimbang Israel," kata pakar Timur Tengah dari Universitas Exeter, Larbi Sadiki.
Andai Israel kehilangan pamor dan saat bersamaan penguasa Arab Teluk terusik, maka pengaruh Barat di Timur Tengah pun mengalami erosi dahsyat. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad sampai sesumbar menyatakan Timur Tengah akan memasuki babak baru tanpa Israel dan Amerika.
Skenario ini bisa membawa revisi hebat di Washington, khususnya terhadap Barack Obama yang dicibir Israel tak cukup melindungi sekutu mereka, Hosni Mubarak, sehingga untuk pertama kalinya setelah beberapa dekade era tenang, Israel merasa dikepung musuh dari segala penjuru.
Model Turki
Israel dan Barat selalu menunjuk Ikhwanul Muslimin sebagai dasar kekhawatiran mereka terhadap Mesir pasca-Mubarak yang disebut mereka bakal seteokratis Iran.
Ikhwanul Muslimin meyakinkan bahwa klaim itu tidak berdasar.
"Harap dicatat bahwa konsep kepemerintahan dalam pemahaman Sunni bukan sebuah teokrasi karena Islam tak mengenal sistem kepemimpinan sentral. Syariat adalah alat dimana keadilan ditegakkan, kehidupan ditinggikan, kesejateraan diciptakan, kebebasan dan si miskin dilindungi," tulis aktivis Ikhwanul, Abdel Moneim Abu el-Fatouh, dalam koran terkemuka AS, Washington Post.
Ikhwanul menyerahkan masa depan Mesir kepada konsensus rakyat dan tak berencana mendominasi perpolitikan pascaMubarak. "Kami hanya ingin kebijakan yang dibuat Washington terhadap Timur Tengah tak didasari fakta dan agenda rasis yang Islamofobis," kata el-Fataouh yang adalah pengarang "A Witness to the history of Egypt's Islamic Movement",
Eksposisi ini menguatkan keyakinan bahwa Mesir tak akan menjadi negara teokratis. Banyak kalangan malah meyakini Mesir pasca-Mubarak akan seperti Turki.
Domestikasi politik Islam di Turki yang dipromosikan Partai Keadilan dan Pembangunan pimpinan Recep Tayyip Erdogan memang mempesona kelompok demokrat Arab.
Jalan Revolusi Mesir sendiri masih panjang. Banyak aktor, termasuk Jenderal Mohammed Hussein Tantawi yang memimpin proses transisi, akan berlomba memetakan Mesir mendatang. Tentu saja Israel dan AS berusaha ikut bermain.
Yang pasti, Timur Tengah tak akan lagi seperti dulu dan Mesir bukan perhentian akhir dari revolusi akbar itu. (*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011