Jakarta (ANTARA) - Pengamat keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, mengatakan penting bagi pemerintah untuk memperhatikan pengelolaan cermat untuk melindungi keamanan data menyusul wacana Dirjen Pajak (DJP) untuk menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai pengganti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Hal ini, menurut Alfons, penting karena jika data sensitif seperti NIK tidak dikelola dan dilindungi dengan baik, akan berpotensi membocorkan informasi keuangan wajib pajak.
"Kebocoran data pada dunia digital adalah keniscayaan dan tidak terhindarkan, karena itu, pemilihan kredensial yang dinamis yang dapat menyesuaikan diri dengan ancaman keamanan data merupakan salah satu syarat utama melindungi kerahasiaan data," kata Alfons dalam keterangannya, Kamis.
Lebih lanjut, ia mengatakan bisa saja NIK dan informasi kependudukan dijadikan sebagai dasar kredensial, tetapi harus didukung oleh kredensial pelengkap yang sifatnya dinamis.
Dalam kartu kredit dan rekening bank, kredensial pelengkap yang dinamis ini adalah password dan OTP yang digunakan setiap kali melakukan transaksi online.
Hal ini akan melindungi pemilik kredensial (pemegang kartu kredit) dimana sekalipun informasi kartu kreditnya bocor, akan sangat sulit menggunakan informasi tersebut untuk melakukan transaksi keuangan karena harus memberikan OTP yang hanya dikirimkan ke nomor ponsel pemegang kartu kredit.
"Sehubungan dengan rencana DJP menggunakan NIK untuk menggantikan NPWP, dari sisi kemudahan dan kepraktisan hal ini memenuhi syarat karena data NIK ini terpercaya, sudah melekat pada penduduk Indonesia dewasa, unik dan mempermudah proses wajib pajak baru dalam menjalankan kewajibannya membayar pajak dibandingkan harus repot membuat NPWP yang merepotkan dan birokratif," paparnya.
"Namun, perlu disadari kalau nomor NIK bersama data kependudukan lainnya yang seharusnya rahasia ini sudah banyak yang bocor dan jika tetap digunakan sebagai dasar kredensial untuk mengakses informasi keuangan wajib pajak, maka hal ini akan membuka peluang kepada siapapun yang memiliki informasi kependudukan yang banyak bocor ini untuk mengakses informasi keuangan wajib pajak yang bersifat rahasia ini," imbuhnya.
Ia menilai, hal ini merupakan pelanggaran hak kerahasiaan data wajib pajak, dan DJP perlu mempertimbangkan dengan matang sebelum menerapkannya.
Langkah antisipasi yang bisa ditempuh adalah manambahkan kredensial digital tambahan untuk menutupi kelemahan data kependudukan yang sudah bocor ini supaya terlindung dari akses ilegal.
Alfons mengatakan, Digital ID Nasional yang lebih dinamis bisa menjadi alternatif. Digital ID bisa diperkuat dengan perlindungan tambahan seperti OTP yang sudah terbukti andal dan digunakan oleh lembaga finansial untuk melindungi transaksi.
"Kalau Indonesia mau maju dan mendapatkan keuntungan maksimal dari digitalisasi, kemampuan mengelola aset digital merupakan pengetahuan yang sangat mendasar dan harus diperjuangkan untuk diketahui dan dikuasai oleh penduduk Indonesia dan lembaga pemerintah yang notabene mengelola aset digital berharga," katanya.
"Adanya satu ID Digital nasional sebagai pelengkap NIK perlu dipertimbangkan dengan serius oleh pemerintah karena hal ini akan sangat mempermudah proses pengamanan, pengelolaan, analisa pemanfaatan big data yang semuanya berada di bawah satu pintu," lanjutnya.
Baca juga: Muhaimin: integrasi NIK-NPWP harus pastikan keamanan data warga
Baca juga: Puan: Integrasi NIK-NPWP harus jamin keamanan data pribadi
Baca juga: Pemberlakuan NIK jadi NPWP tak otomatis sebabkan pemilik dikenai pajak
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021